Suarakampus.com-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan kewenangannya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp4,58 triliun dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim. SP3 tersebut merupakan yang pertama kali dikeluarkan lembaga antirasuah itu pasca revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pada 2019 lalu.
Ketentuan SP3 diatur dalam Pasal 40 UU KPK, yang memberikan wewenang kepada KPK untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi yang telah berlangsung selama dua tahun. Banyak pihak menilai pasal tersebut merupakan upaya membatasi ruang gerak KPK dalam memberantas korupsi.
Menurut Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Intitute, Hemi Lavour Febrinandes, wewenang SP3 membuktikan adanya langkah mempersempit gerak KPK, hal yang selama ini dikhawatirkan publik dengan adanya revisi UU KPK.
Hemi menilai, tidak diberikannya wewenang SP3 dalam UU KPK yang lama (UU Nomor 30/2002), bertujuan agar KPK lebih berhati-hati dalam menetapkan tersangka hingga diproses di pengadilan.
“Ketika diberikan wewenang SP3, hal ini akan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan membuat KPK menjadi tidak lagi berhati-hati,” kata Hemi kepada suarakampus.com.
Hemi mengatakan, ketentuan SP3 tersebut bermasalah karena tidak adanya keterbukaan dalam hal apa saja penyidikan kasus korupsi dapat dihentikan, terlepas dari tenggat waktu dua tahun. “Publik memiliki hak untuk mengetahui alasan-alasan sebuah kasus dihentikan, transparansi dan akuntabilitas menjadi penting,” katanya.
Hemi berpendapat bahwa masih ada kemungkinan kasus korupsi di-SP3, seperti yang dikatakan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, KPK masih berkemungkinan menerbitkan SP3 pada kasus korupsi lain yang sudah lama, dan kondisi tersangka dalam keadaan sakit. “Alasan semacam ini sangat berekmungkinan untuk dibuat-buat agar kasus korupsi dihentikan, dan ini menjadi celah yang buruk,” kata Hemi.
Hemi tidak memungkiri bahwa revisi UU KPK telah membelenggu lembaga antirasuah itu dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberantas korupsi sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Untuk itu kata Hemi, KPK harus memiliki wewenang yang luar biasa pula.
“Kalau tidak, ya, seperti saat ini, langkah KPK dibatasi. Kemudian KPK juga tersandera kepentingan-kepentingan sekelompok orang tertentu,” kata Alumnus Fakultas Hukum Unand itu.
Terlepas dari itu, Hemi menyatakan bahwa langkah memberantas korupsi tidak hanya ada pada KPK. “Harapannya ada di tangan publik, bagaimana masyarakat tetap bergerak bersama dan selalu mengawal langkah KPK agar tidak lari dari tujuan awalnya,” kata dia.
Namun, Hemi pesimis jika arah politik-hukum yang melahirkan kebijakan terhadap upaya pemberantasan korupsi ke depannya tetap sama dengan apa yang terjadi pada revisi UU KPK. Ketika itu, publik tidak mengehendaki adanya revisi UU KPK karena memperlemah lembaga antirasuah itu dalam memberantas korupsi.
“Publik menghendaki pemberantasan korupsi, ini tentu bukan permintaan yang sederhana dan itu adalah pekerjaan yang berat. Tetapi pekerjaan yang berat itu akan menajadi lebih terarah ketika ada keinginan langsung dari pemegang kewenangan,” tutupnya.
Wartawan: Nandito Putra