Penulis: M. Abdul Latif
Pagi ini dunia terasa lembut, segala rasa gundah dan gelisah mulai lenyap terganti oleh perasaan senang tak menentu, tidak tahu apa penyebabnya. Matahari tegak sepenggal berpijar di petala langit seakan tersenyum memberikan sapaan. Cahayanya merambat masuk ke dalam kamar, melalaui pentilasi dan jendela kayu. Sinar yang penuh kecerian seoalah-olah menjulur mengusap-ngusap bumi dengan penuh kasih sayang. Hembusan udara disertai lantunan ayat suci alquran yang dilafazkan para santri, menambah kesempurnaan nikmat tuhan untuk mensyukri. Aku bergegas mengambil wudu’ menunaikkan dua rakaat dhuha seperti kebiasaan para santri lainya dan berharap nikmat yang dirasakan tidak sebagai azab, yang membuat lalai sehingga lupa kepada sang pemberi nikmat itu sendiri.
Dengan penuh semangat, aku kenakan sarung berwarna hijau yang tergantung rapi, tidak lupa pula peci putih dan kemeja, serta sorban putih hadiah dari ustadku. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, tepat pukul 10.00 WIB aku harus berada di ruang kelas pondok pesantren. Aku harus belajar kitab kuning Ilmu Fiqih dengan judul pembahasan Babun Nikahi yaitu Kitab I’anah at Tholibin karangan Syekh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, sarah dari mantannya Fathul Muin Karangan Syekh Zainudin Bin Muhammad Aziz Almalibari Ass-Syafi.
Lima tahun lalu aku sudah menamatkan Madrasah Aliyah di pondok ini, tetapi aku lebih memilih mengabdi karna masih banyak ilmu yang harus digali. Semakin banyak ilmu yang ditemui semakin kecil rasanya diri ini. Memang belajar di usia seperti ini banyak cobaan yang harus dihadapi, seperti sebagian temanku yang memilih nikah muda dan melanjutkan mengaji di sini bersama pendampingnya, tetapi aku memilih untuk sendiri. Ya… itu lah salah satu cita-cita ku hari ini, jika tidak dapat kuliah di al-Azhar, Cairo, Mesir setidaknya aku menemukan perempuan yang sehobi dengaku mengaji.
15 menit sebelum jam 10.00 WIIB kami sudah berada di kelas, karna tidak beradab jika terlambat apalagi guru yang lebih dahulu duduk menanti, sedangkan kami terlambat datang mengaji.
“Assalammulaikum…” dengan suara yang penuh wibawa, tetapi terselip kelembutan masuk ke kelas kami, wajar suara beliau masih tegar karena beliau tiga tahun lebih tua dari kami.
“Waalaikumussalam,” sontak kami berdiri menunggu beliau duduk di kursi, barulah kami bergantian untuk menyalami. Ketika aku bersalaman beliau menyentuh sorban yang tergerai dari pundakku sambil tersenyum, mungkin beliau senang karena sorban itu adalah sorban kesayangan beliau yang diberikkan kepadaku. Aku sangat dekat dengan beliau, saat resah gundah dalam munutut ilmu menghampiri, aku sering minta dinasehati karena kata-kata beliau mampu membangkitkkan semangat ketika mendengarnya.
Sekarang kami belajar tidak seperti berada di Madrasah Aliyah dulu lagi, tidak ada pembatas antara perempuan dan laki laki, sebab kami belajarnya lebih ke diskusi. Nafsu sudah mulai terkendali, berbeda dengan Madrasah Aliyah, perempuan dan laki-laki harus dibatasi dengan tirai pembatas, sehingga tidak dapat melihat satu sama lain karena nafsu perlu dikekang seperti keledai harus diberi tali agar bisa terkendalikan.
Siti mutiah sebuah nama yang membuat semangatku membara bak panglima perang ingin memimpin pasukan perang. Begitu mendengar nama Siti Mutiah aku ingin memimpin rumah tangganya selamat sampai jannah, namun sayangnya sepucuk surat yang aku selipkan di balik terai pembatas lima tahun yang lalu tidak mendapatkan balasan sedikit pun.
Assalammualaikum warrohmatullahi wabarokatuh
Ketahuilah saudariku yang seiman dan seakidah
Telah Allah titipkan sifat bashornya kepadaku sehingga aku dapat melihat kecantikkan mu
Telah Allah titipkan sifat samaknya kepadaku sehingga aku dapat mendengar suara lembut mu yang penuh ke anggunan
Telah Allah titipkan sifat ilmunya kepadaku sehingga aku dapat mengetahui kebaikkan hati mu
Telah Allah titipkan sifat hayatnya kepadaku sehingga hidup ku di pertemukkan dengan mu
Telah Allah titipkan sifat kalamnya kepadaku sehingga bisa berkata cinta kepada mu
Begitu juga sifat ar Rahman dan ar RahimNya sehingga aku ingin meluapkan kasih dan sayang ku kepada mu.
Sekarang aku hanya bisa mengagumi, mata berbinar kadang menyipit mengisyaratkan senyum manis yang tersembunyi di balik cadarnya berharap dia memiliki perasaan yang sama dengan ku.
Siang ini, selepas keluar dari kelas aku berjalan menuju masjid , berjalan di bawah terik matahari yang memberi bekas berupa bayangan condong ke arah timur karna matahari sudah tergelincir ke arah barat petanda waktu zuhur akan masuk. Langkah ku terhenti karna terngiang ngiang di telinga seseorang memangilku.
“Akhi…? Akhi…? Akhi…?”
Ketika aku menoleh kebelakang terlihat seorang perempuan membawa sebuah kitab, sontak kalimat istigfar keluar dari mulut ku , karena sudah meninggalkan kitab di kelas, dengan langkah agak cepat dia datang menghampiriku.
“Maaf Azizi kitab kamu ketinggalan, dia sodorkan sebuah kitab kepadaku,’’ dengan menunduk malu karna tidak baik memandangi perempuan ajnabiah, aku ambil kitab tersebut.
“Syukron… Siti…’’
“Naam…” jawabnya, sembari pergi menjauhi ku.
Di dalam masjid hembusan angin dari kipas yang berputar-putar dari dinding membuat aku tidak ingin beranjak dari karpet yang berukiran pemandangan menara masjid di kala senja menyapa itu. Tetapi kenyaman itu sedikit terganggu oleh pandangan yang menyisihkan ribuan tanda tanya saat tertuju pada sebuah kertas yang terselip di kitab yang terletak diujung karpet tempat aku duduk.
Mulutku tak henti-hentinya bergumam sembari membolak balikkan kertas berbentuk amplop lusuh itu. Amplop yang berisikan kertas yang penuh guratan lipitan seakan sudah menempuh waktu lima tahun lalu, membuat mataku yang hampir tertutup untuk tidur terbuka lebar. Amplop itu adalah suratku yang dikirim ke Siti Mutiah lewat tirai pembatas lima tahun silam.
Badanku terbaring sambil mendekap surat di dada, pandangan lurus ke langit langit masjid, terkadang membuat aku tersenyum namun juga membuat aku kebingungan.
“Kenapa dia kembalikan?”
“Apakah dia memiliki perassaan yang sama denganku,” senyumku mengiring yang terkadang senyumku berganti gumaman tak jelas.
“Apakah dia menolakku , tidak ada balasannya, hanya mengembalikkan surat. Ahh.. tidak mungkin,” dengan cepat aku bagun dari tidur, aku berprasangka bahwa aku diterimanya dan dia menunggu aku melamarnya, karena cinta sehingga pikiranku diantarkan kesana.
Mulai hari ini, aku kuatkan niat untuk mnyempurankan separoh agama. Aku yakinkan diri mempergunakan nikmat cinta ini untuk mencintai Siti Mutiah. Aku berharap cintaku padanya menambah cintaku kepada Allah. Untuk menambah keyakinan hati, aku menggali segala informasi tentang Siti Mutiah dari adik perempuanku, kebetulan dia sangat dekat dengannya.
Seperti puisi yang membuat pandanganku jauh namun kosong, sebab pikiran sudah melayang. Begitu juga lekung bibir tersenyum secara permanen mendengar kata-kata adikku menceritakan cantiknya paras dan akhlak Siti Mutiah.
‘’Traakkkkkk….’’
Adik ku mengejutkan aku dengan menampar meja kantin tempat kami duduk. Pikiran yang terbang kemana-mana, kembali ketubuh dalam sekejap. Pandangan buram, tubuh yang lunglai terbawa suasana kembali kokoh menunggu kabar baik tentang Siti Mutiah.
“Tapi ingat bang, bapaknya alumni al-Azhar loh, lumayan kaya juga,” ucap adikku.
“Insyaallah dik, abang niatnya baik,”
“Iyaaa deh, tapi hafalan sudah 29 juz bang?”
“Waduhhhh abang masih 28 nih, tapi tenang dik, abang usahain hafal 30 juz dalam waktu dekat, insyaallah akan langsung abang datangi bapaknya,”
‘’Iyaaa deh bang, good luck bang,” sembari meletakkan sendok terakhir suapannya lalu berdiri bersalaman kepadaku dan tersenyum sambil mengacungkan kepalan tangan kanannya, tanda semangat perjuangan kapadaku.
Sekarang tiada hari dan waktu yang aku tinggalkkan untuk menambah hafalan. Biasa memang menghafal al quran, namun kini giatnya minta ampun. Kebutulan aku belajar tallaqi quran dengan ustad yang biasa mengajar di kelas, sehingga dalam waktu 7 bulan aku menamatkan 30 juz. Malam ini kebahagian bercampur haru, air mataku terus mengalir, kecupan dan cucuran doa berulang-ulang kali beliau panjatkan ketika aku selesai menyetor hafalan terakhir.
Dengan baju kemeja biru langit dan celana dasar hitam yang rapi aku ciumi telapak tangan orang tuaku. Kemarin, aku juga sudah minta doa restu kepada ustad karna hari ini aku akan melamar Siti Mutiah ke rumahnya.
Langkah ku sejenak terhenti di depan rumah Siti. Sebuah tenda yang diisi puluhan orang begitu juga bendera hitam terpampang di halaman, tanpa basa basi aku memasuki rumahnya dengan cepat agar lintas pikiran bisikan hati yang timbul terjawab.
Lambat laun kaki yang ku langkahkan kian melambat, badan yang tegap mulai merunduk, kuasaku untuk berdiri menghilang seketika, nafasku seakan tersendak keluar, ingin berteriak histeris tetapi tenagaku seolah-olah terkuras habis. Aku hanya tersimpuh lemas di samping jasad yang terbujur kaku, air mata tak terbendung mulutku terus berkata, perkataannya tidak jelas karena di masuki air mata.
“Sit, sit ss Sitiiii. Aku membawa niat baik sekarang Siti,” terkadang suaraku terlepas keras, semua orang yang di dekatku begitu juga bapaknya siti mengusap pundakku, tetapi semua itu tidak bisa menenangkan jiwaku yang meremuk ini.
“Istighfar nak istighfar…” berkali-kali di lontarkan bapak Siti kepadaku sembari merangkul badanku yang melemas.
“Niat baikmu sudah didengar Siti nak.., sebenarnya sebelum ini Siti menyampaikan kepada saya, untuk mendatangi kamu, karena dia ingin kamu lamar, tetapi semuanya di luar kuasa kita, masalah jodoh, reski dan maut tidak ada yang tahu. Kemaren siang Siti masih sehat, tetapi malam hari suhu badannya naik drastis. Itulah misteri dari takdir Allah, kita hanya bisa berencana tapi rencana Allah lah yang terbaik,” dengan suara serak dan mempererat rangkulannya.