Suarakampus.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Barat mengkritik wacana pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba). Kebijakan ini dinilai berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat adat dan lokal, khususnya di Sumatra Barat.
Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan Walhi Sumatra Barat, Indah Suryani Azmi, menyatakan kebijakan tersebut tidak tepat dan berisiko menciptakan permasalahan baru di tengah masyarakat.
“Aktivitas tambang tidak hanya melibatkan pelaku usaha, tetapi juga berdampak langsung pada eksistensi masyarakat adat dan lokal di sekitar wilayah tambang,” ujarnya.
Ia menambahkan, pelibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang berpotensi menyimpangkan fungsi utama institusi akademik yang berlandaskan tridharma perguruan tinggi.
“Fungsi perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tidak ada kaitannya dengan bisnis pertambangan,” tegasnya.
Indah menjelaskan, hampir seluruh wilayah di Sumatra Barat merupakan tanah ulayat, sehingga kebijakan ini berpotensi menimbulkan benturan kepentingan antara masyarakat dan institusi pendidikan.
“Akan terjadi konflik kepentingan yang berdampak pada kebudayaan, kebiasaan masyarakat, serta keberlangsungan tanah ulayat,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa perguruan tinggi seharusnya berperan sebagai benteng dalam menghadapi konflik sosial, bukan justru menjadi bagian dari permasalahan.
“Perguruan tinggi harus berpihak pada kepentingan rakyat, bukan bertindak sebagai alat kepentingan bisnis,” katanya.
Tawaran yang Berbahaya
Walhi mengimbau perguruan tinggi agar berpikir kritis dalam menyikapi tawaran pengelolaan tambang yang dinilai membawa dampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat.
“Ini tawaran yang sangat berisiko. Tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga dapat menghancurkan tatanan sosial,” ujar perwakilan Walhi.
Mereka menegaskan, perguruan tinggi tidak boleh berubah menjadi institusi yang hanya mengejar keuntungan bisnis, sehingga melupakan perannya dalam mencerdaskan bangsa.
“Perguruan tinggi harus tetap menjaga independensinya dan tidak terjebak dalam kepentingan bisnis yang berpotensi merugikan rakyat,” tambahnya.
Selain itu, Walhi menyoroti bahwa pemerintah dan oligarki semakin terlihat berkolaborasi dalam kebijakan yang berisiko merugikan banyak pihak.
“Saat ini, pemerintah dan oligarki tampaknya saling menguatkan dalam bisnis yang mengabaikan kepentingan masyarakat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, mereka menyatakan belum menemukan bukti bahwa industri tambang benar-benar membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya.
“Di mana ada tambang, di situ justru terjadi perampasan lahan dan kerusakan lingkungan,” tegasnya.
Perguruan Tinggi Harus Netral
Sebagai solusi, Walhi meminta perguruan tinggi untuk tetap bersikap netral dan mengkaji kembali keterlibatannya dalam pengelolaan tambang.
“Kami berharap perguruan tinggi tidak terburu-buru menerima tawaran ini. Kaji ulang apakah kebijakan ini sejalan dengan konstitusi,” ujar Walhi.
Mereka menekankan bahwa tugas utama perguruan tinggi bukan mengurus IUP dan bisnis pertambangan, melainkan memastikan keberlanjutan lingkungan dan kelestarian sumber daya alam.
“Perguruan tinggi harus berperan dalam menjaga lingkungan dan memastikan air bersih tidak tercemar limbah tambang,” jelasnya.
Selain itu, Walhi menegaskan bahwa perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk mengkritisi kebijakan yang dapat merusak lingkungan dan mengancam keadilan sosial.
“Perguruan tinggi harus menjadi garda terdepan dalam mengawal kebijakan lingkungan yang berkelanjutan dan berkeadilan,” tambahnya.
Menurut mereka, jika perguruan tinggi terlibat dalam bisnis tambang, maka institusi tersebut berpotensi menjadi bagian dari perampasan hak rakyat.
“Ketika perguruan tinggi terjebak dalam kepentingan oligarki tambang, maka ia akan menjadi aktor utama dalam perusakan lingkungan, tatanan sosial, dan bahkan pelanggaran hak asasi manusia,” pungkasnya. (ver)
Wartawan: Anisa Fitri Tara (Mg)