Oleh : Ulvi Rahmi, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unand
Terdengar angin menyapa batang batang ilalang yang tumbuh di belakang rumah kecil itu, sewaktu matahari akan meninggalkan senja, terpancar seperti sinar merah kebiruan di langit berdampingan dengan awan yang berombak-ombak seperti air di lautan yang tenang, terlihat para tetangga menutup pintu nya, ibu dan bapak petani mulai berangkat pulang ke rumahnya masing-masing mobil dan motor lalu-lalang di depan rumah
Kumandang azan mulai terdengar, anak-anak berlarian kearah masjid untuk melakukan sholat magrib, tapi tidak dengan adikku, semenjak pukul empat sore tadi dia hanya termenung memerhatikan ikan cupang miliknya yang di belikan ibu di tempat pacuan kuda kemarin, tak biasanya dia begitu, dalam pikiran aku pun mulai bertanya-tanya kepada diriku, kuingat ingat tidak ada kumarahi dia, dan kami akur- aku saja sejak tadi pagi
Ibu dan ayah mulai bergegas ke arah mesjid membawa mukena sulaman Pandai Sikek nya yang di tenteng di tangan dan ayah menggunakan baju koko dan sarungnya, ibu berjalan mendekati ayah ke arah motornya, di depan pintu ibu minta pamit kepada kami “Kakak, I’i, ibu berangkat ke masjid dulu, kalian jangan lupa sholat magrib nanti ibu akan pulang selepas isya, ibu pulangnya agak telat nanti ada pengajian bersama di masjid dan aku menjawab “baik buk kakak sholat di rumah saja”
I’i adalah sapaan untuk adik ku Rahmad Chandika Ilham. Nama Chandika adalah gabungan dari nama ibu dan ayah. Setelah menutup pintu aku kembali memperhatikan adikku yang tak beranjak dari tempat duduknya dan aku memberanikan diri untuk menyapanya
“I’i maghrib jangan lupa sholat” lalu dia bangun dari tempat duduknya dan tidak melihat ku, di bergegas pergi ke kamar mandi dan sholat magrib di ruang tamu.
Adikku sekarang sudah menginjak kelas dua sekolah dasar, di salah satu sekolah kampungku. Anaknya lumayan cerewet, sehingga kalo diam menjadi tanda tanya besar bagiku kenapa dia seperti ini, kubiarkan saja sampai ia menemuiku dulu, selepas sholat magrib aku duduk di depan televisi di ruangan keluarga kami, memakan kerupuk Sanjai Balado dan Arak Kaliang yang dibeli ayah sewaktu pulang dinas di Bukittinggi kemarin.
Ayahku adalah seorang wiraswasta ia mempunyai bengkel mobil di daerah Baso, Kabupaten Agam, sedangkan ibuku adalah seorang bidan di nagariku, sesekali dia dinas di puskesmas kecamatan, karena situasi sekarang sedang tidak memungkinkan untuk menggantungkan dari bengkel ayah, yang hanya menyerahkan bengkelnya tersebut ke orang kepercayaannya. Lalu ia hanya menikmati waktu di rumah bersama kami, begitupun juga ibu.
Karena sekarang sedang hangat-hangatnya virus corona, membuat ibu juga tidak dinas, ibu sudah di liburkan, tetapi juga sesekali ibu harus ke puskesmas walau jadwalnya tidak seperti hari-hari biasanya, sedangkan kami hanya menghabiskan waktu di rumah, begitupun aku yang hanya kuliah online. Aku berkuliah di salah satu universitas negeri di Padang yang terpaksa harus kuliah online yang menurutku sangat berat.
Lalu, adikku hanya di berikan pekerjaan rumah yang lumayan banyak di satu persatu mata pelajarannya, kembali ke cerita adikku yang tadi, benar saja selepas sholat magrib, dia menemuiku di ruangan keluarga dan duduk di sebelah aku sembari bertanya
“Kakak lihat dari sore tadi, I’i hanya duduk memerhatikan ikan itu,ada apa dek, ada masalah?, spontan aku bertanya kepada adikku itu,
“Tidak kak” dia hanya menunduk dan pergi ke kamarnya,
Kamarnya berada di lantai dua, ketika ia menginjak anak tangga yang kelima, aku berteriak
“Kakak tunggu jawabannya besok yaaa,, dan jangan lupa sholat isya “
sambil mengentakkan kaki dia hanya menjawab dengan satu kalimat, yakni ‘”yaa”. Selanjutnya aku menonton berita yang berisikan Corona di salah satu stasiun televisi yang menayangkan khusus hanya berita saja
Setelah itu azan sholat isya berkumandang kumatikan televisi dan bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu, setelah itu aku melaksanakan sholat isya dan selepas sholat isya, hari menunjukkan pukul 20.40, aku menuju kamar yang letaknya di lantai dua persis di sebelah kamar adikku, kulihat di sela pintu kamar yang terbuka adikku sedang sholat isya juga, kembali aku memikirkan hal apa yang menjadi masalah di pikiran anak kecil itu, ah sudahlah aku membuka kamar dan merebahkan badanku.
Azan subuh berkumandang dan aku melakukan sholat subuh, ayah dan ibu juga sudah bangun termasuk adikku, kami sholat di kamar masing-masing, setelah itu hari menunjukkan 06.00 lewat, terdengar kicauan burung yang seperti menyanyikan lagu, embun embun putih bak Kristal yang menyapa daun, udara pagi nan segar khas pegunungan, deretan pegunungan bukit barisan yang terhampar nyata di depan mata
Adikku mulai bergegas keluar untuk merapikan tanamannya, di rumahku ada sepetak taman kecil yang di tanami dengan kembang bunga warna-warni. Setelah itu, aku bergegas menuju tempat adikku,
“I’i, kakak mau bertanya, kemarin I’i kenapa” lalu ia menjawab
“ I’i hanya sedih kak, puasa sudah menghitung hari lagi, sedangkan keadaan semakin saja, tak boleh keramaian, nanti bagaimana dengan sholat tarawih, bagaimana dengan perang sarung , bagaimana dengan bakar lilin, bagaimana dengan perang petasan, bagaimana dengan permainan lain yang I’i mainkan bersama kawan-kawan I’i, sedangkan I’i tidak boleh bergabung dengan keramaian”
Lalu, aku hanya tertawa kecil melihat anak itu memikirkan bagaimana dia bermain bersama kawan-kawannya, lalu aku menjawab
“Setiap sholat, I’i berdoa saja kepada Tuhan, agar semoga musibah corona ini cepat berlalu, dan kita bisa menjalankan Ibadan di bulan suci ramadhan dengan tenang’’ mendengar jawaban itu, ia terlihat sudah tak murung lagi, ada senyum kecil terbesit di wajahnya kembali.