Suarakampus.com- Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Martin Kustati, mengatakan pihaknya akan menindak tegas kasus kekerasan seksual di kampus apabila ada laporan. “Kalau ada laporan, tentu akan kita usut,” kata dia, kepada suarakampus.com, di pelataran Aula Mansur Dt Nagari Basa, setelah acara pelantikan beberapa pimpinan lembaga kampus, Kamis (28/10).
Saat dimintai keterangan mengenai keberadaan Standar Operasional (SOP) Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS), ia mengklaim bahwa UIN Imam Bonjol sudah memiliki aturan tersebut. “Kita sudah punya aturan itu di pedoman akademik,” kata rektor perempuan pertama di UIN IB itu.
“Ada. Di sana ada tentang tata aturan dan laporan, tapi silakan tanya langsung ke WR III,” kata Martin singkat, sembari menutup pintu mobil BA 13 pelat merah yang ia tumpangi.
Dalam Pedoman Akademik UIN IB (PDF), pasal 9 (1) yang mengatur ihwal pelanggaran dan sanksi, memang disebutkan bahwa dosen yang melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (kode etik tenaga kependidikan), akan diberi sanksi oleh Komisi Etik yang dibentuk oleh UIN IB.
Apabila merujuk pada Kode Etik Dosen UIN IB (PDF), yang disahkan pada 2017 lalu oleh eks Rektor Eka Putra Wirman, hanya terdapat ketentuan umum yang mengatur etika terhadap mahasiswa. Pada Pasal 8 ayat (8) tercantum bahwa dosen harus “menghindarkan diri dari pemanfaatan mahasiswa untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan”.
Sementara, pada Pasal 12 ayat (3) diatur bahwa etika dalam bidang akademik dan pembinaan mahasiswa, dosen harus menjauhkan diri dari perbuatan dan hal-hal yang dapat menurunkan derajat dan martabat dosen.
Dalam laporan Lahan Subur Kekerasan Sekseual, UIN IB Bisa Apa, suarakampus.com telah mengonfimasi dugaan bahwa UIN IB tidak punya SOP Penanganan Kekerasan Seksual. Namun, pihak rektorat tidak memberikan pernyataan yang jelas.
Wakil Rektor III UIN Imam Bonjol Padang, Welhendri Azwar, mengatakan, dirinya berkomitmen untuk memberantas kekerasan seksual di kampus. “Kampus tentu akan beri sanksi tegas terhadap pelaku,” kata dia, kepada suarakampus.com.
Namun demikian, kata Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qitbiyah, hingga September lalu, hanya ada 11 PTKI yang telah memiliki aturan khusus tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Aturan tersebut merupakan delegasi dari Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494/2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) pada PTKI.
11 PTKI yang telah mengadopsi SK Dirjen Pendis tersebut adalah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Batusangkar, UIN Raden Intan Lampung, UIN Mataram, UIN Cirebon, IAIN Tulungagung, UIN KH Achmad Dahlan Jember, IAIN Pekalongan, IAIN Purwakerto, IAIN Metro Lampung dan IAIN Salatiga. Padahal, dalam diktum kedua Dirjen Pendis tersebut mengatur bahwa pedoman PPKS menjadi acuan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual bagi seluruh PTKI.
Kata Alimatul, dengan adanya SOP khusus tentang penanganan kekerasan seksual di kampus, melihatkan komitmen lembaga pendidikan dalam menumpas, apa yang disebut oleh Mendikbud Nadim Makarim, sebagai tiga dosa besar pendidikan, salah satunya pelecehan seksual.
Berdasarkan Nota Kesepahaman antara Kemenag RI dan Komnas Perempuan, mendesak agar Rektor atau Ketua PTKI agar melakukan sosialisasi, penguatan, advokasi dan layanan pengaduan terhadap kasus kekerasan seksual. Kemudian rektor melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keputusan Dirjen Pendis tentang PPKS.
Azizah Meira, Akademisi dari Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) mengatakan saat ini UIN IB sudah punya draf rancangan SOP Penanganan Kekerasan Seksual. Namun, sampai saat ini, tidak ada kejelasan proses pembentukan aturan tersebut.
Suarakampus.com mengonfirmasi pernyataan Rektor UIN IB kepada Bunga, bukan nama sebenarnya, salah seorang penyintas pelecehan seksual di UIN IB. Dalam laporan Lahan Subur Kekerasan Seksual, Kampus Bisa Apa, Bunga menceritakan pengalamannya mengalami pelecehan seksual di lingkungan akademik.
Ia mengapresiasi pernyataan rektor bahwa kampus akan menindaklanjuti kekerasan seksual di kampus. “Apakah Anda akan melapor dan mengumpulkan bukti?”
Menanggapi pertanyaan itu, Bunga mengatakan bahwa dirinya tidak punya cukup alat bukti untuk melapor. “Saat ini saya sedang proses bimbingan, dan tidak ingin terlibat masalah,” kata dia.
Ia berharap, pernyataan rektor tersebut tidak hanya sekadar bualan belaka. Kata dia, harusnya rektor dapat memberikan pembinaan pada dosen, tanpa harus ada palaporan dari mahasiswa. “Kenapa harus menunggu laporan untuk pembinaan?” kata Bunga.
Koordinator Bidang Demokrasi dan HAM KALaM Konstitusi UIN Imam Bonjol, Daniel Osckardo, menyayangkan sikap kampus yang abai terhadap adanya kasus kekerasan seksual. “Dengan adanya laporan yang terbit di media, seharusnya rektor membentuk tim investigasi agar kasus itu terungkap,” kata Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syariah itu.
Supaya komitmen menciptakan kampus yang aman bagi semua kalangan terwujud, Daniel mendesak agar rektor segera meratifikasi SK Dirjen Pendis tentang PPKS. “Karena rektor kita perempuan, harusnya dia bersimpati terhadap kasus seperti ini,” kata Daniel.
“Suara perempuan harus digaungkan oleh rektor,” Daniel menegaskan.
Sementara itu, saat dimintai tanggapan mengenai hal ini, Wakil Presiden Mahasiswa UIN IB, Jeni Mandala, mengatakan, bahwa saat ini pihaknya tidak memiliki daya untuk melakukan advokasi. Saat ini, kata Jeni, kepengurusan Dema-U sudah berakhir, dan Pemira tidak kunjung terlaksana.
Jeni mengatakan saat ini pengurus Dema-U sudah banyak diwisuda. Sementara, ia menilai untuk melakukan advokasi, membutuhkan massa dan persiapan yang matang.
Jeni sadar bahwa kasus pelecehan seksual perlu ditindaklanjuti secara tegas. Namun demikian, ia menegaskan tidak bisa berbuat banyak untuk dapat menggerakkan massa, supaya kampus mengeluarkan kebijakan yang pasti terkait penanganan kekerasan seksual.
Wartawan: Firga Ries Afdalia
Editor: Nandito