Ketika Ragu, dan Kita Memilih Mengarangnya

Pengarang: Tom Nichols
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Tebal: 293
Editor: Trany Septirahayu P
Resensiator: Alif Ilham Fajriadi

Pada era informasi seperti sekarang, banyak muncul perdebatan dan mempertanyakan tentang hal-hal seperti benarkah bumi itu datar? atau pentingkah vaksinasi? Semua pertanyaan tersebut, sekarang bukan hanya pakar yang menjawab, melainkan juga para penganut teori konspirasi, orang awam sok tahu, hingga pesohor yang menyesatkan. Kadang, dalam rimba informasi masa kini, penjelasan pakar tidak lagi didengar, sementara jawaban dari tokoh yang mempunyai banyak pengikut, justru lebih dipercaya.

Tom Nichols memotret baik realitas tersebut, Profesor U.S. Naval War College dan Harvard Extension School itu menunjukkan bagaimana pendapat yang salah bisa dianggap sebagai kebenaran. Dalam kata pengatar, Nichols menuliskan rasa khawatirnya terhadap masyarakat yang tidak lagi memiliki argumen yang berdasarkan prinsip dan data. Pengetahuan dasar yang menembus lantai “Tak dapat informasi” selanjutnya meluncur melewati “Salah informasi” dan terempas ke “Ngawur secara agresif”.

Selain itu, lebih mengkhawatirkan lagi jika orang-orang menolak keahlian dan melakukan serangan terhadap kepakaran. Faktor pendukung utamanya kata Nichols adalah internet, perbincangan tanpa aturan di media sosial dan sikap selalu merasa benar serta penghinaan terhadap kepakaran. Secara umum, buku itu membahas bagaimana cara menjembatani kerenggangan antara pakar dan orang awam, yang dalam jangka panjang dapat mengancam bukan hanya kesejahteraan, melainkan juga kelangsungan hidup bernegara.

Buku ini juga menelaah perlawanan masyarakat terhadap kepakaran, dan menuangkannya ke dalam narasi yang memukau dan sarat dengan detail. Nichols menyuguhkan karya yang menyegarkan, mengenai bagaimana kita menyeimbangkan skeptisme dan kepercayaan untuk terus maju. Pada bagian pertama, buku ini menjelaskan bagaimana cara membedakan para pakar di antara kita, dan bagaimana kita mengenali mereka?. Ada beberapa aspek yang menandakannya, pertama pengetahuan dan latar belakang pendidikannya. Kedua, bakat dan pengalaman, terakhir pengakuan rekan sejawat.

Akan tetapi, dalam realisasi di lapangan, kita semua memiliki sifat dan kecenderungan alami untuk mencari bukti yang sejalan dengan keyakinan kita. Sehingga, kita malah berdebat ketika seharusnya tidak, sedihnya adalah jika merasa terancam secara sosial atau pribadi, kita akan berdebat sampai kehabisan napas tanpa referensi yang jelas. Memasuki bagian selanjutnya, Nichols memaparkan betapa peliknya masalah tentang kebodohan, keisengan atau kekonyolan intelektual di kampus yang kerap ada dalam bayangan publik dari waktu ke waktu. Kebodohan dalam jumlah tertentu akan terus ada dalam kehidupan kampus.

 Perguruan tinggi seharusnya bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki latar belakang memadai dalam bidang tertentu, keinginan untuk terus belajar sepanjang hidup. Jika tidak seperti itu, penyebabnya adalah jumlah mahasiswa yang terlalu banyak, yang mana sebagian besarnya tidak layak berada di perguruan tinggi. Nichols menegaskan hal itu, karena kegagalan perguruan tinggi dalam mendorong mahasiswa untuk memperoleh intelektual serta membangun argumen yang logis dengan referensi yang jelas.

Di sisi lain, Nichols membahas tentang kemunculan situs web abal-abal, unggahan-unggahan yang memenuhi internet dan tren pencarian cepat yang mendorong tumbuhnya industri penjualan ide-ide buruk ke publik. Mengakses internet benar-benar dapat membuat orang lebih bodoh dibandingkan jika mereka tidak pernah melakukannya sama sekali. Lebih lanjut, kebiasaan menelusuri internet bisa jadi mengerikan, namun satu hal yang pasti adalah kebiasaan itu menyebalkan. Seseorang dapat dengan cepatnya menafsirkan suatu hal dengan satu referensi di klik pencarian di internet, dan dengan mudahnya mematahkan hati seorang pakar hanya dengan kata-kata seperti “Saya telah melakukan penelitian.”

Di bagian akhir buku ini, Nichols merasa jengkel, karena tidak ada cara untuk mendidik atau memberikan informasi kepada orang yang ketika merasa ragu, malah mengarang sesuatu. Dengan kata lain, semakin tidak kompeten seseorang, semakin dia tidak tahu dan berusaha berpura-pura dan tidak mau mempelajarinya. Selain memaparkan tentang hilangnya peran pakar dalam kehidupan, buku ini juga menjelaskan tentang jurnalisme gaya baru. Pada bagian ini, kita akan diperkenalkan Nichols dengan gaya jurnalisme zaman sekarang yang tidak ramah akan kepakaran, karena cenderung membuat stereotip akan hal yang tidak jelas asalnya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Martin Kustati, Berprestasi Sekaligus Berbudi

Next Post

Remedial TKD Berbayar, UPB: Itu Ketetapan Kemenkeu

Related Posts
Total
0
Share