Ketukan Pintu Rumah Andawa

Oleh: Leni Marlina

Hari-hari penuh cinta telah berhasil menyita waktu lelaki yang sedang menyusun tugas akhir itu. Menghabiskan waktu bersama orang terkasih membuat ia sejenak mengesampingkan urusan perkuliahannya. Bukan tanpa alasan, ia memilih menghabiskan waktu untuk merawat juga memberikan segala perhatian pada sang Ayah. Ayah yang divonis mengidap penyakit pembengkakan kelenjar getah bening, harus menjalani hari-harinya di rumah sakit. Dokter Handoko yang dipercaya oleh keluarga untuk menangani Ayah, enggan memberitahu sudah separah apa penyakit itu menggerogoti tubuhnya. Dokter hanya menyarankan agar tetap menjalankan segenap proses pengobatan yang dianjurkan. Hal ini, sedikit banyak berpengaruh pada lelaki itu dan keluarga. Sebab jika mengetahuinya, mungkin panik malah enggan beranjak dari pikiran mereka semua.

Andawa, pagi ini memutuskan pulang ke rumah untuk mandi dan mengganti pakaiannya. Itu pun setelah beberapa bujukan dari sang Ibu. Ibunya telah datang sejak pukul 7 pagi tadi, karena semalam ia pulang untuk mengurus keperluan adik yang sudah mulai masuk sekolah Senin ini.

“Bu, aku pamit pulang. Tetap di samping Ayah ya, mungkin Ayah nanti butuh sesuatu,” ucap Andawa

“Iyaa Wa, kamu jangan lupa makan. Ibu sudah masak tadi pagi, kamu juga harus bertenaga dong buat jagain Ayah,” Ibu tersenyum pada Andawa

“Baik Bu, Ayah juga harus cepat sembuh Bu. Supaya bisa masak makanan enak buatan Ibu lagi.” Dia berjalan menuju keluar ruangan. Sesampai di rumah ia merebahkan badan pada kursi di ruang tamu dan tertidur sangat lelap di sana.

*

Dari luar tampak tulisan Dahlia  301, itulah kamar yang sedang dihuni Ayah Andawa.

Hermana Wijaya, seorang ayah berusia 49 tahun juga menjabat sebagai guru Bahasa Indonesia di SMA Teladan Bangsa. Terkenal sebagai guru yang perhatian kepada murid-muridnya, sebab memiliki kepribadian yang penyayang namun tegas. Meski dikenal ramah dan perhatian, ia pandai menempatkan diri kepada muridnya. Ada kala harus tegas untuk setiap tugas yang diberikan, hal ini membuat para murid banyak menyenangi Pak Herman. Tak hanya itu, di rumah ia juga menjadi ayah idaman bagi anak-anaknya. Dengan sikap dan wibawanya, ia tetap dekat dan tak lupa mendengar keluh kesah anggota keluarga. Pada Andawa misalnya, tak pernah Herman memaksa ia harus menyelesaikan tugas akhir atau skripsi sesegera mungkin agar mendapat gelar cumlaude. Kendati demikian, ia tidak lupa mengajak Andawa berdiskusi perihal masalah skripsi yang ingin Andawa angkat nantinya.

Diskusi terjadi pada sore dua minggu lalu, tepat setelah Andawa kembali dari rumah kawannya untuk mengurus persyaratan ujian. Andawa kembali menggunakan sepeda motor Scoopy kesayangan adiknya.

“Bagaimana Wa, sudah lengkap syaratnya?” ayah bertanya sambil membaca koran

“Belum Yah, ada beberapa nilai yang belum dikeluarkan pihak akademik. Katanya lusa sudah bisa diurus lagi.” Andawa turun dari motor dan duduk di bangku sebelah meja ayahnya.

“Ujian kalian kapan akan dilaksanakan emangnya? Ayah meletakkan koran dan menyeruput tehnya.

“Menurut jadwal sih awal bulan Yah, sekitar sepuluh hari lagi. Tapi sayangnya ada nilai yang belum keluar juga, sedangkan kami juga perlu waktu untuk mengulang materi yang akan diujiankan” Andawa menghela napas.

“Kan kamu sudah melewati mata kuliah sekitar itu-itu saja, tidak perlu waktu lama lah untuk mengingat beberapa yang lupa. Ayah yakin anak lelaki Ayah ini memiliki daya ingat yang kuat.” Timpal Ayah

“Ah Ayah ini, pandai sekali melambungkan aku. Lupa kalo aku gak punya sayap. Jatoh, sakit loh Yah”

“Ayah kan serius, Ayah tidak pernah mengajarkan untuk menghafal materi kan? Yang penting kamu paham, itu akan lebih bagus untuk ingatan kamu. Karena bagaimanapun berbelitnya pertanyaan, kalo formulanya kamu paham, ya kamu bakal bisa jawab dong, bener ga?”

“Iyaa Yah iyaa,”

“Siapa yang paham, maka ialah yang mengerti” serentak Ayah dan anak itu mengucapkan kata bijak yang selalu dipesankan pada Herman pada anak-anak serta para muridnya.

*

Sepulang dari bersih-bersih badan dan makan, Andawa tampak datang lagi ke rumah sakit. Kali ini ia membawa laptop di dalam ransel yang ia sandang masuk ruangan. Ia berniat akan mulai membaca jurnal terkait untuk masalah yang didapat  beberapa hari lalu setelah membaca-baca berita. Andawa ingin menyambi memulai tulisan ilmiahnya sembari menjaga sang Ayah. Sebab ibunya juga sudah minta izin untuk menjaga Pak Herman. Alhasil mereka bertiga dalam ruangan untuk menjaga Pak Herman, Ibu yang sedang membaca buku dan Andawa yang sibuk dengan layar laptopnya.

Andawa bercita-cita menjadi seorang Public Relation, cita-cita ini ia inginkan sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama. Menyadari sang Ayah begitu komunikatif kepada para muridnya, Andawa ingin menjadi lebih. Ia ingin lihai mengambil hati orang lain, mengajak bekerja sama serta melakukan hal-hal baru yang menantang. Ia meyakini, bahwa ia harus bisa melebihi batas kemampuannya. Karena dari sanalah timbul usaha yang tidak biasa. Ia berpendapat, jika kemampuan persen itu terbatas 100 maka ia harus bisa lebih. Sebab seratus itu pasti akan ia dapati, karena batasannya sudah ada, jadi dia harus melampauinya, itu yang terpikir oleh seorang Andawa.

Mungkin tidak mudah menjadi orang seperti Pak Herman, bisa begitu banyak dikenal dan disayangi oleh para murid dan rekan-rekan lain. Kemampuan bahasa yang begitu dikuasai Pak Herman benar-benar menempatkannya pada posisi yang diinginkan oleh sebagian banyak orang. Dikenal dan menjadi pribadi pembawa energi positif bagi orang lain. Tapi tidak dengan yang satu ini, tidak dengan hal yang sedang menimpanya sekarang. Tak ada yang menginginkan itu terjadi, tak ada orang yang menginginkan penyakit bertengger pada tubuh mereka. Tak terkecuali dengan Pak Herman, sesak napas yang sesekali membuatnya kehilangan kesadaran terlihat begitu menyakitkan. Ini adalah bagian terburuk yang dititipkan Tuhan pada Pak Herman. “Tidak ada manusia sempurna,” ternyata sudah kami temukan adanya.

“Too..longg, too..long,” di tengah senyap ruangan terdengar lirih suara Pak Herman. Ibu panik lalu keluar untuk meminta pertolongan.

“Dokk.. dokterr.. susterr, tolongg.. dokterr, tolong suami saya” teriak Ibu panik

Andawa berlari menuju ruangan dokter Handoko untuk membawanya segera ke ruangan Pak Herman,

“Dok.. dok.. tolong, Ayah sesak napas lagii,” Andawa terlihat panik

Dokter Handoko dibantu beberapa suster terlihat datang ke ruang Dahlia 301 tersebut, suasana panik menyelimuti ruang berisi khusus satu orang pasien itu. Dokter Handoko segera memeriksa keadaan Pak Herman yang masih saja sesak napas dan minta tolong. Andawa dan Ibu menunggu di luar dengan raut wajah pucat. Andawa membawa Ibunya duduk agar bisa mengendalikan dan menenangkan diri, begitupun dirinya. Andawa memberikan sebotol air mineral yang ia ambil dari saku tasnya.

Berselang beberapa saat, Dokter Handoko keluar ruangan Pak Herman dengan raut yang tak bersahabat. Rasanya tak ingin ia mengeluarkan sepatah kata pun saat itu pada Andawa dan Ibu. Namun sebagai dokter, ia harus bisa melakukannya. Ia memang sudah berteman dengan Pak Herman sejak lama, ikatan itu juga yang mungkin membuatnya memberi perhatian lebih dan pengobatan maksimal pada Pak Herman. Hari ini pun ia tampak begitu terpukul,

“Andawa, sini Nak.” Ia memeluk Andawa

“Kamu harus bisa menguatkan Ibu dan adikmu yaa, kamu anak sulung dan menjadi satu-satunya harapan keluarga. Bukan dalam hal materi, namun menjaga keluarga kalian,” Dokter Handoko memegang pundak Andawa.

Andawa yang tak mau prasangka buruknya menjadi benar, memilih bertanya dengan tenang pada dokter. “Kenapa dok, apa yang terjadi pada Ayah? Kenapa dokter berkata demikian ?”

“Maaf Bu, maaf Andawa, saya tidak bisa menolong teman saya, saya tidak bisa menyelamatkan Herman. Kankernya sudah menyebar hingga paru-paru Herman. Hingga ia tak bisa ditolong lagi” ucap Dokter Handoko

Seketika Ibu tak sadarkan diri saat mendengar ucapan Dokter Handoko, ia tak percaya bahwa suaminya sudah tiada. Meskipun ia juga sangat paham bagaimana kesakitan yang telah dihadapi oleh Pak Herman beberapa waktu terakhir. Baik itu sebelum atau sesudah dirawat di rumah sakit. Ia mencoba mengikhlaskan dari pada harus menyaksikan suaminya kesakitan lebih lama. Namun badannya begitu lemah saat mendengar kabar duka tersebut. Ia dibawa masuk ke dalam dibantu oleh Andawa dan beberapa perawat dan meninggalkan mereka berempat di dalam.

Tak lama kemudian, dengan mengejutkan ada yang menggedor-gedor pintu.

“Tok.. tok tokk..”

“Tok.. tok.. tokk, kak buka pintuu.. Kakk Awaa, bukain pintu donggg,” suara perempuan.

“Astagaa,” Andawa sontak berdiri dari kursi

Andawa terbangun, ia kaget mendengar suara teriakan ituu. Ia segera menuju pintu, dan ternyata yang di luar adalah adiknya. Adiknya pulang sekolah dan sudah 15 menit berdiri berteriak membangunkan Andawa yang tertidur di kursi ruang tamu. Tapi Andawa tak juga terbangun, sampai-sampai ia terperanjat mendengar gedoran pintu dari adiknya. Ternyata ia sudah tertidur beberapa jam di kursi ruang tamu karena kelelahan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Rendahnya Pemahaman Makna Toleransi yang Eksplisit bagi Masyarakat

Next Post

Mukosma HMP AFI Tetapkan Gilang Virmanedi Putra sebagai Ketua

Related Posts
Total
0
Share
Checking your browser before accessing...