Suarakampus.com- Sejumlah Masyarkat Air Bangis Pasaman Barat Sumatra Barat (Sumbar) kembali demontrasi di depan gedung Gubenur Sumbar. Ratusan warga bersama mahasiswa berunjuk rasa menuntut Gubernur Sumbar Mahyeldi untuk membatalkan rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) dan menyelesaikan konflik agraria di Nagari Air Bangis Pasaman.
Satu hari sebelumnya, para pendemo juga menggelar aksi di depan kantor gubenur Sumbar Senin (31/07). Namun massa aksi belum mendapatkan tanggapan dari gubenur, Mahyeldi.
Berdasarkan amatan tim suarakampus.com, Demontrasi tersebut dimulai pada pukul 08.30 WIB dari Masjid Raya Sumbar menuju kantor gubenur. Massa aksi dikawal pihak kopilisian, akses lalu lintas kendaraan di sepanjang Jalan Sudirman tampak terganggu dan dialihkan ke satu sisi saja. Dari teriakan dari koordinator aksi “Bebaskan lahan kami, bebaskan rekan kami, tarik Brimob dari lahan kami, dan diaminkan massa aksi lainnya.
Adapun tuntutan yang dibawa oleh massa aksi kepada Gubenur, Mahyeldi. Di antaranya, cabut usuluan gubenur tentang proyek startegis nasional kepada Menko Kemaritiman dan Investasi, bebaskan laham masyarakat Nagari Air Bangis dari kawasan produksi, bebaskan masyarakat dari koperasi KSU sekunder, dan bebaskan masyarakat menjual hasil sawitnya kemanapun.
Adapun tuntutan yang dilayangkan kepada Kapolda Sumbar. Di antaranya, bebaskan masyarakat Nagari Air Bangis yang di tahan, tarik mundur seluruh brimob yang berada di lahan masyarakat, dan hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat.
Salah satu koordinator aksi, Edri Rahmansyah mengatakan warga Jorong Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas, Pasaman Barat minta Gubernur Sumbar segera menyelesaikan konflik lahanan di negeri asal mereka. “Tuntutannya kami ingin dibebaskan mencari mata pencaharian kami, tanpa diintimidasi, tidak ditakut-takuti, selesaikan konflik lahan dan bebasan rekan kami yang ditangkap,” ujarnya, Selasa (01/08).
Edri menjelaskan, permasalahan di negerinya sudah berlangsung lama. Ia bersama sekitar 4.000 jiwa lainnya tinggal di hutan kawasan secara turun-temurun sejak 1970 an. Namun tiba-tiba, pada tahun 2016, muncul program hak tanaman rakyat (HTR) di perkebunan mereka tersebut.
“Setelah tu, muncul masalah bertubi-tubi, puncaknya kemarin, dan ada masyarakat yang sedang panen ditangkap,” katanya.
Edri menambahkan masyarakat sekarang takut panen sawit, sementara bertani sawit satu-satunya mata pencaharian. “Efeknya berdampak pada anak sekolah akan berhenti, di mana kami akan mencari makan,”tutupnya. (red)
Wartawan Fajar Hadiansyah