Melangitkan Mimpi Versi Jalur Langit

(Sumber: Verlandi/suarakampus.com)

Oleh: Sofi Asri

(Mahasiswi Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Imam Bonjol Padang)

Teleponku berdering ba’da Maghrib ini. Sebuah nama kontak tertera begitu jelas: “Tulang Rusuk Apa”. Spontan, tangan ini menjawab panggilan itu. Percakapan dengan Mama malam ini tidak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya. Seusai menanyakan apakah aku sudah makan atau belum, Mama bertanya,
“Kapan pulang, Nak?”

Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun bagi aku saat ini, pertanyaan itu terasa menyakitkan.
“Hmm… minggu ini belum tahu, Ma.”

Dari ujung kabupaten, terdengar desahan lemah Mama. Aku sungguh merasa bersalah.
“Ya, sudah. Hati-hati di sana ya, Nak. Belajar yang baik, makannya juga jangan lupa teratur.”
“Iya, Ma. Aman.”
“Baik, Mama tutup teleponnya dulu ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam, Ma.”

Kembali aku tertegun. Aku ingin sekali pulang setiap akhir pekan, namun lagi-lagi aku belum sanggup menambah beban Mama dan Papa. Ongkos travel pulang pada Sabtu sore, belum lagi harus kembali pada Minggu siang, membuatku merasa pulang hanya untuk numpang tidur saja. Paginya, Mama dan Papa pasti pusing mencari uang untuk bekal pegangan sepekan ke depan, belum lagi ongkos bus travel yang lumayan mahal bagiku.

Namun, dalam pemikiranku yang sederhana, jika pekan ini aku tidak pulang, setidaknya uang ongkos travel sebesar Rp20.000 bisa kusimpan. Mama bisa menitipkan uang saku untukku kepada teman satu kampung yang rutin pulang setiap pekan. Aku hanya tidak ingin melihat air mata Mama setiap kali aku berangkat menuju tempat menuntut ilmu ini.

Aku masih ingat enam bulan lalu, ketika hendak berangkat dari rumah ke kosan. Papa tidak ada di rumah karena sedang menjenguk nenek yang dirawat di rumah sakit. Saat itu, Mama memberiku uang sebesar Rp20.000—itu pun uang terakhir yang ada di dompetnya. Sejujurnya, aku tak sanggup menerimanya. Aku bahkan tak sanggup membayangkan harus kembali ke kosan jika itu berarti memaksa Mama menyerahkan seluruh uang yang ia miliki.

Namun, Mama bersikeras sambil berkata,
“Ambil dulu segini ya, Nak. Doakan Mama agar ada rezeki lain. Nanti akan Mama kirim lagi, yang penting sekarang kamu pulang dulu. Esok kan ada ujian?”

Aku hanya mengangguk, menahan air mata yang nyata jatuh di depan Mama. Saat hendak berangkat, Mama tiba-tiba memanggilku:
“Sisi, tunggu dulu, Nak!”
“Kenapa, Ma?”

Ternyata, Mama kembali masuk ke dalam rumah. Ia membuka sebuah kotak kaleng bekas roti, lalu menghitung uang koin Rp500 yang biasa dikumpulkannya selesai pulang dari pasar—sisa belanja yang selama ini ia sisihkan. Kala itu, jumlahnya tepat Rp20.000.

“Mama baru ingat ada tabungan di kotak ini. Mungkin tidak banyak, tapi setidaknya cukup untuk kebutuhanmu empat hari ke depan,” ujarnya, menyodorkan uang itu dengan tangan bergetar.

Air mata mengalir deras saat Mama memelukku erat. Aku benar-benar lemas, tak sanggup menahan beban rasa bersalah yang menggunung.
“Maafkan Mama, Nak. Mama belum bisa membayar SPP-mu dua bulan ini. Kamu harus pintar bernegosiasi dengan sekolah. Kalau perlu buat surat perjanjian dulu, tidak apa. Yang penting uang ongkos dan kebutuhanmu selama di kos tercukupi,” bisiknya serak.

Aku menghela napas, mencoba menahan getar suara.
“Iya, Ma. Alhamdulillah ini sudah cukup untuk empat hari ke depan. Tapi… nanti Mama pakai apa? Mama tidak punya simpanan lagi.”

Mama mengusap punggungku pelan, suaranya berbisik keyakinan:
“Rezeki itu datang dari jalan tak terduga, Nak. Asal kita mau berikhtiar. Pulanglah dulu ke kos, fokus belajar untuk ujian besok. Berdoalah pada Allah agar diberi kemudahan.”

“Maafkan Sisi, Ma. Selama ini hanya memberatkan Mama, belum bisa membahagiakan Mama…” desisku, suara tercekat.

“Jangan bicara begitu. Ini tanggung jawab kami sebagai orang tua,” potongnya tegas. “Papa juga berpesan: hati-hati di jalan, jaga diri di perantauan. Beliau sedang kesulitan finansial, tapi uang ini dari tabungan terakhirnya untukmu.”

Sepanjang perjalanan menuju terminal, mata perih menahan semburan air panas. Pikiran melayang entah ke mana. Rasa sesak di dada tak tertahankan yaitu kembali, air mata menjadi teman setia dalam perjalanan pulang ke tanah rantau, tempat aku menggenggam mimpi di tengah nestapa.

Air mata tak henti mengalir membasahi pipi. Kaki ini dipaksa berlari kencang meninggalkan kampung halaman, tapi jiwa seakan tertinggal di rumah kecil yang sederhana itu.

Ini sudah sering terjadi. Aku terus bertahan bersekolah di MAN 1 Padang Pariaman, meski perih kerap mengiringi. Kini, di penghujung kelas XII, segala sesuatunya berjalan seperti lomba lari maraton. Ujian Akhir Madrasah semakin dekat, tugas-tugas menumpuk bak gunung, praktik ini-itu, dan jadwal padat yang tak kenal ampun.

Jiwa ini lelah. Tapi ingatanku melayang pada perjuangan Papa-Mama: air mata mereka yang bercampur keringat demi menyekolahkanku. “Apa artinya lelahku dibanding pengorbanan mereka?” bisik hati. Menyerah? Itu kata yang tak ada dalam kamus hidupku.

Sedikit lega. Tanggung jawab organisasi yang dulu menyita waktu akhirnya berakhir. Kini, aku bisa fokus membagi waktu antara belajar dan istirahat. Namun, pertempuran sesungguhnya baru dimulai: Ujian Madrasah, SNMPTN, SPAN-PTKIN, hingga SBMPTN—semua akan ku hadapi dengan kepala dingin.

Di balik jendela bus yang membawaku pergi, kampung itu makin mengecil, tapi tekad di dada justru membesar. “Ini demi masa depan,” gumamku, menggenggam erat buku catatan yang sudah penuh coretan.

Jiwaku meraung, seolah menyalurkan energi dari kalimat yang selalu Papa gumankan:
“Sisi, apapun yang kau hadapi nanti, jangan pernah meminta hal spesifik pada Allah. Jangan kau ucapkan, ‘Ya Allah, beri aku nilai 100’ atau ‘Luluskan aku di Kedokteran Unand’. Jika harapan itu tak tercapai, kau akan hancur dan menyalahkan takdir. Tapi mintalah yang terbaik dari setiap usahamu. Percayalah, apapun hasilnya nanti, hatimu akan ikhlas. Kau takkan layu; kau justru belajar berdamai dengan diri.”

Jemariku gemetar mengetik nama kontak di ponsel: Tulang Rusuk Apa.
Ya, sajak rindu ini menggelegak. Aku rindu rumah, rindu nasihat Mama-Papa yang selalu menjadi pelita. Terlebih di tengah ujian yang kian menghujam—rasanya seperti digilas roda waktu tanpa ampun.

Tapi jaringan di kampung terpencil itu memang kerap mati suri. Akhirnya, kusampaikan kerinduan lewat pesan WhatsApp.

Seminggu ujian pun berlalu. Seusai ujian Bahasa Arab Minat tadi, aku dan ketiga sahabatku duduk di taman madrasah. Sambil berbincang ringan tentang ujian tadi, kami pun kembali berlabuh pada topik kemana kelanjutan setelah lulus dari madrasah ini.

“Guys, kalau bingung untuk kuliah atau daftar Bintara Polri?”

Ucap Nabila, kakak-kakak PASKIBRA yang suka banget plin-plan plus suka insecure.

Dirnatan dengan tampang nyinyirnya langsung menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu,
“Haduh, ala, kalau nggak bingung dan dilema, bukan Nabila namanya. Kenapa masih bingung? Bukannya kemarin udah mantap mau daftar Bintara Polri, apalah namanya itu.”

“Nah, iya lah. Kalau menurut Mala sih, kalau udah niat ke sana, usaha ala juga kan dari dulu buat latihan fisik, belajar dari buku. Itu ya, menurut kami udah pas kok daftar itu.”

“Hihi… iya nih, ala. Gini-gini lah sekarang. Coba fokusin lagi niat dan tujuan ala itu lebih berat ke mana?”

Nabila pun sontak menjawab,
“Tapi kayanya ala belum pantas daftar itu sih. Ala masih kurang latihannya. Orang yang daftar juga banyak, persiapan mereka pasti lebih mantap.”

“Haduh, ala, syalala, sahabat kami yang paling ayu tenan. Ingat ya, jangan pernah patah sebelum tumbuh. Jangan pesimis gini dong. Yakin pada kemampuan ala, dan jangan lupa selalu berdoa kepada Allah biar diberikan yang terbaik ya.”

“Hmm… Aamiin Ya Rabb. Btw, kalian gimana? Daftar SPAN nggak? Kalau menurut ala, insyaAllah kalian ada rezeki di SPAN, apalagi kan kalian jurusan Keagamaan.”

Tanpa aba-aba, aku, Dirnatan, dan Mala serentak mengamini doanya Nabila.

Ya, begitulah kami. Rasanya kami sudah seperti saudara sejak lama. Sama-sama berjuang di perantauan, belajar menghemat uang, dan merasakan pahit-manis kehidupan bersama.

Beberapa waktu lalu, aku memutuskan ikut SN dengan memilih jurusan Ilmu Komunikasi. Dirnatan mengambil Manajemen, Nabila mendaftar Bintara Polri, sedangkan Mala mengejar impiannya di Hubungan Internasional. Mimpi kami besar, dan usaha ekstra harus kami kerahkan untuk meraihnya.

Tak terasa, detik, menit, dan hari berlalu. Kami akhirnya menyelesaikan ujian terakhir dengan tenang. Siang itu, aku menelepon Mama:
“Assalamualaikum, Ma.”
“Waalaikumussalam, Sisi. Gimana, Nak? Ujiannya udah selesai?”
Alhamdulillah udah, Ma. Sisi pulang minggu ini ya.”

Suara bahagia dan lega terdengar di seberang telepon:
“Alhamdulillah, Nak! Papa udah nanyain Sisi dari kemarin. Iya kan, Pa?”

Papa menyela:
“Iya, Nak. Hati-hati di perjalanan nanti. Kalau uang ongkos habis, nggak usah pulang dulu. Bayar kos-kosan aja.”
“Oke siap, Pa, Ma. Oh iya, sebelum ujian, Sisi daftar SN. Pengumumannya tiga hari lagi. Kalau Sisi nggak lulus, nggak papa kan?”
“Nggak papa, Nak. Yang penting berdoa dulu,” jawab Papa.

“Oke, Pa.”

Uhuk… uhuk… uhuk! Batuk Papa terdengar jelas, meski aku yakin ponsel sengaja dijauhkan darinya.
“Sisi, Papa-Mama tutup telepon dulu ya. Papa mau ke rumah nenek,” ujar Mama buru-buru.
“Iya, Pa.”

Pikiranku melayang. Sekali lagi, Papa sakit, tapi ia tetap berpura-pura baik-baik saja di depanku.

Hari pengumuman SN tiba. Aku, Mala, dan Dirnatan ternyata belum beruntung. Tapi kami tetap semangat; masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh.

Sayangnya, hari yang seharusnya menjadi momen perpisahan madrasah justru berbalut kesedihan. Banyak teman yang juga gagal SN, meski beberapa lainnya bersorak bahagia.

Bersambung…

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Sebuah Hadiah Redam

Next Post

Senja Keempat Belas

Related Posts
Total
0
Share