Oleh: Difa Fadilah (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)
Hai, namaku Okta Rani. Biasa dipanggil Rani. Aku seorang perempuan berdarah Minang yang berdomisili di Kota Padang. Saat ini, aku berada di tempat menggapai toga. Kalian pasti tau, ya, aku berada di kampus saat ini. Perjalanan kuliahku semakin berwarna, seperti pelangi tanpa awan mendung. Sebab, di kampus ini aku memiliki seorang sahabat yang
sudah seperti saudara sendiri. Dia sosok yang selalu ada untukku dan selalu memotivasi agar menjadi lebih baik lagi.
Hari ini, aku tidak ada jadwal kuliah. Akan tetapi, aku ke kampus. Tentu saja kelas pasti kosong. Hal itu beriringan dengan suasana hatiku yang sedang buruk. Aku memutuskan untuk pergi ke taman kampus. Sesampainya di sana, pikiranku melayang jauh memikirkan berbagai hal yang akhir-akhir ini sedikit mengganggu.
Sekelebat terpikir, apakah aku bisa tamat di kampus ini dengan gelar sarjana? Karena mengingat banyak sekali orang yang merendahkan dan meremehkanku.
Lamunanku buyar, jantungku berdetak kencang seperti orang selesai maraton. Bagaimana tidak? Terdengar seseorang memanggil namaku dengan suara tinggi.
“Rani!!” teriak seorang perempuan yang sangat familiar tak lain sahabatku, namanya Dinda.
“Ternyata kamu di sini, aku kira ke mana! huh capek tahu nyariin kamu dari tadi gak ketemu-ketemu!” Kesal Dinda padaku.
“Hehe, iya,” jawabku tidak semangat.
“Ada apa ni? Kok wajahmu lesu begitu?,” tanyanya yang duduk di sampingku.
“Aku tidak apa-apa kok,” ujarku sambil tersenyum.
“Bohong! Kita ini sudah lama kenal, aku sudah hafal perasaan kamu. Mau sedih atau senang,” celetuk Dinda berlagak marah.
Aku hanya diam mendengar celotehnya, masih ragu untuk mengatakannya.
“Nah kan, masih aja diam. Yaudah deh, cerita saat kamu siap. Karena kamu gak mau ngomong, siap-siap denger celotehan aku,” ucapnya yang menahan kedua pipinya dengan tangannya.
Aku menghembuskan nafas lega menatap Dinda berusaha membuatnya nyaman “Ya udah, mau ngomong apa tu? kataku yang masih tidak semangat.
“Dengerin yaaa Rani cantik, setiap orang yang ada di dunia itu, pasti ada masalah. Entah itu berat atau ringan, tergantung diri masing-masing seperti apa kita menjalani dan menyelesaikan masalah itu, jadi kalau kamu belum siap untuk cerita ke aku, minimal ceritakan masalah atau pun kegelisahanmu ke yang maha kuasa, insyaallah itu bisa membantu, dan jangan pernah lupakan bahwa aku juga akan selalu berusaha untuk mendukungmu,” katanya.
Mendengar itu, air mataku perlahan merembes membasahi pipi dan dia langsung memeluk dan menguatkan aku. Setelah lumayan tenang aku pun mulai menceritakan semua masalah dan kegelisahanku kepada Dinda.
“Jadi, gini Din aku itu sedih aja kenapa orang itu selalu meremehkan segala usaha kita, padahal mereka itu nggak tahu bagaimana susahnya kita untuk berada di posisi ini,” katanya.
“Coba bayangin, kemarin itu waktu pulang kuliah, tetangga aku ada yang tanya tentang perkuliahan gitu, terus aku jawab kan, setelah itu tetangganya bilang ‘memangnya yakin bisa selesai kuliahnya, belum prestasi kamu yang kayak gitu dan belum lagi masalah keuangan keluarga’, jadi aku itu sedih saja karena ada orang yang bicara kayak gitu, padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin,” jelasku padanya.
Selama bercerita Dinda pun mendengarkan dengan baik dan sekali-sekali mengusap lenganku untuk menenangkanku. Setelah mendengar itu Dinda pun ikut sedih.
“Ran, kamu tahu nggak, di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin selagi kita mau berusaha, jadi singkirkan kata-kata orang lain yang bikin kita jatuh atau kurang percaya diri, lakukan semua hal yang terbaik menurutmu karena hanya kita yang tahu dengan diri kita, tutup mulut orang itu dengan segala prestasi, jadi ayooo kita pasti bisa,” ujarnya sambil tersenyum tulus padaku.
“Sedih boleh, jenuh juga boleh, nggak ada yang larang tapi jangan sampai berputus asa, karena jika kamu putus asa itu akan membuat orang yang meremehkan kamu menjadi tambah senang, jadi selalu bahagia ya, kalau kamu sedih aku pun ikut sedih,” lanjutnya.
Setelah mendengar itu aku pun langsung memeluknya, aku terharu.
“Terima kasih, kamu selalu mendukung dan memberikan diriku semangat,” kataku.
“Kan kita sahabat, jadi jangan sedih-sedih lagi ya,” katanya.
“Siap, ayo pasti bisa,” kataku sambil tersenyum.
“Gitu dong, senyum,” katanya sembari tersenyum kepada diriku.
“Hehehe… yok kembali ke kelas,” kataku.