Pada hari raya Idul Adha di tahun 2024, masyarakat Indonesia disajikan dengan tontonan menarik yang berlangsung di Masjid Istiqlal, Jakarta. Penyembelihan hewan kurban yang seharusnya menjadi ritual sakral dan bermakna bagi umat Muslim, ternyata telah dikomodifikasi menjadi ajang peragaan kekuasaan dan kepentingan politik oleh para pejabat negara. Sebagaimana diberitakan dalam artikel “Masjid Istiqlal Mulai Potong Hewan Kurban, Sapi Milik Jokowi Pertama” (https://news.detik.com/berita/d-7395763/masjid-istiqlal-mulai-potong-hewan-kurban-sapi-milik-jokowi-pertama), pemotongan hewan kurban dimulai dari sapi milik Presiden Joko Widodo, diikuti oleh sapi dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto. Dengan mengerahkan seluruh aparatur negara, mereka berusaha melegitimasi tindakan tersebut dengan menyematkan penyembelihan hewan kurban sebagai bagian dari syariat Islam. Dalam proses ini, keterlibatan para ahli hukum Islam, UUD 1945, dan pakar konstitusi menjadi sangat penting untuk menelaah praktik tersebut dari sudut pandang syariat dan konstitusi negara.
Dalam Al-Quran dan hadits, perintah untuk menyembelih hewan kurban disampaikan dengan jelas dan tegas. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai kelapangan rezekinya, kemudian tidak mau mengorbankan hewan kurban, maka janganlah ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR Bukhari). Namun demikian, terdapat beberapa ketentuan dan batasan yang harus dipenuhi agar ritual tersebut dapat diterima oleh Allah SWT.
Pertama, hewan kurban harus berasal dari harta yang halal dan bukan hasil dari tindak kejahatan seperti korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Prof. Dr. Maarif Bajammal, pakar hukum Islam Universitas Al-Azhar, menegaskan, “Harta yang digunakan untuk membeli hewan kurban harus bersumber dari pendapatan yang halal dan bersih dari unsur haram seperti suap, korupsi, atau penipuan.”
Kedua, hewan kurban harus disembelih dengan cara yang dibenarkan dalam syariat Islam, yaitu dengan menyebut nama Allah dan meminimalkan penderitaan hewan. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat ihsan (kebaikan) dalam segala sesuatu. Jika kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik.”
Ketiga, daging kurban harus didistribusikan dengan adil kepada kaum miskin dan tidak boleh dimonopoli oleh golongan tertentu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran, “Dan sembelihan itu Kami jadikan sebagai syiar bagi kamu, agar kamu menyebut nama Allah atas rezeki yang diberikan kepadamu. Maka makanlah sebagian darinya dan berilah makan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 36)
Dalam kasus penyembelihan hewan kurban di Masjid Istiqlal, terdapat keraguan besar mengenai pemenuhan syarat-syarat tersebut. Sapi kurban yang disumbangkan oleh Presiden Jokowi, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dan Prabowo Subianto memiliki nilai nominal yang sangat tinggi, mencapai puluhan juta rupiah per ekor. Dengan penghasilan mereka yang bersumber dari gaji negara dan bisnis, sulit untuk memastikan apakah harta tersebut benar-benar halal dan bersih dari unsur korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, praktik penyembelihan hewan kurban tersebut juga dipertanyakan dari segi kemanusiaannya. Di kutip dari detik.com, berdasarkan laporan saksi mata, proses penyembelihan sapi milik Presiden Jokowi yang berbobot lebih dari satu ton dilakukan dengan cara yang sangat menyiksa hewan tersebut. Lebih dari 10 orang tim pemotongan harus bergulat untuk menjatuhkan sapi tersebut, sementara lantunan takbir dikumandangkan seolah-olah untuk menutupi jeritan kesakitan hewan yang disembelih.
Adapun distribusi daging kurban juga patut dipertanyakan. Dikabarkan bahwa seluruh daging kurban akan didistribusikan kepada 25 ribu masyarakat, namun tidak ada informasi lebih lanjut mengenai kriteria dan proses seleksi penerima daging tersebut. Hal ini membuka peluang untuk terjadinya praktik nepotisme dan favoritisme dalam pendistribusian daging kurban, yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.
Selain pertimbangan syariah, praktik penyembelihan hewan kurban di Masjid Istiqlal juga perlu dikaji dari sudut pandang konstitusional. UUD 1945 sebagai landasan hukum tertinggi negara Indonesia menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara. Hal ini tercantum dalam Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Namun, dalam pelaksanaannya, kebebasan tersebut harus tetap memperhatikan batasan-batasan yang ditetapkan oleh negara, terutama dalam hal ketertiban umum dan keamanan nasional. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, “Kebebasan beragama bukanlah kebebasan yang absolut atau tanpa batas. Ia harus dijalankan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip ketertiban umum, moralitas, dan keamanan nasional.”
Dalam kasus penyembelihan hewan kurban di Masjid Istiqlal, terdapat kekhawatiran bahwa praktik tersebut telah melanggar prinsip negara yang bersifat sekuler dan menjaga jarak yang sama dengan semua agama. Dengan melibatkan aparatur negara dan pejabat tinggi negara, praktik tersebut berpotensi menciptakan kesan bahwa negara mendukung dan memihak pada agama tertentu. Hal ini dapat memicu kecemburuan dan ketegangan sosial di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
Selain itu, penggunaan fasilitas negara seperti Masjid Istiqlal untuk kegiatan keagamaan yang melibatkan pejabat negara juga dapat dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tindakan ini bertentangan dengan prinsip good governance yang menjadi landasan bagi pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik penyembelihan hewan kurban di Masjid Istiqlal pada tahun 2024 merupakan sebuah kontroversi yang membutuhkan kajian mendalam dari perspektif syariah dan konstitusional. Dari sudut pandang syariah, terdapat keraguan mengenai kehalalan harta yang digunakan untuk membeli hewan kurban, serta cara penyembelihan dan distribusi daging kurban yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, hadits, dan pandangan para ulama. Sementara dari sisi konstitusional, praktik tersebut berpotensi melanggar prinsip negara sekuler dan penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yang bertentangan dengan UUD 1945 dan pendapat pakar hukum tata negara.
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mereformasi praktik penyembelihan hewan kurban di Indonesia. Para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, ulama, dan masyarakat sipil, harus bekerjasama untuk memastikan bahwa ritual sakral ini dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam, prinsip-prinsip konstitusional negara, dan kaidah-kaidah kemanusiaan yang universal. Hanya dengan demikian, penyembelihan hewan kurban dapat benar-benar menjadi manifestasi ketaatan kepada Allah SWT dan bukan hanya menjadi ajang peragaan kekuasaan dan kepentingan politik belaka.