Oleh: Zaitun Ul Husna
(Mahasiswa Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir, UIN Imam Bonjol Padang)
All eyes on Rafah, semua mata tertuju kepada Rafah. Kalimat tersebut menjadi trending utama di berbagai media sosial. Hashtag itu menyuarakan perhatian terhadap warga yang berada di Rafah, Gaza, yang berada di perbatasan dengan Mesir. Tempat tersebut menjadi saksi bisu dari berbagai kisah luka dan duka anak-anak Palestina.
Ulah kekejaman zionis Israel, daerah Gaza selalu menjadi kawasan yang sering kali menjadi headline di berbagai media dunia, dan kini tengah berada dalam sorotan tajam. Rafah, di tengah segala hiruk-pikuk konflik dan penderitaan, menyimpan cerita-cerita yang menuntut untuk didengar. Kota ini bukan hanya sekedar titik di peta konflik, namun juga sebuah kanvas besar di mana duka dan harapan saling bertarung setiap menit bahkan detik.
Cerita luka setiap harinya di Gaza, termasuk Rafah, adalah sejarah luka yang berulang. Setiap kali suara ledakan terdengar, setiap kali tembok runtuh, ada jiwa-jiwa yang hancur. Rafah, tempat yang menjadi salah satu pintu keluar-masuk Gaza melalui perbatasan Mesir, sering kali menjadi titik tumpu bagi harapan yang tersisa bagi penduduk Gaza. Namun, dengan ketatnya blokade dan seringnya penutupan perbatasan, harapan ini sering kali berubah menjadi keputusasaan yang mendalam.
Suara dari jalanan Rafah kian hari memilukan. Di jalan-jalan Rafah, ada suara yang mungkin tidak terdengar oleh dunia luar. Suara tangis seorang ibu yang kehilangan anaknya, suara gemuruh rumah yang runtuh, dan suara bisu dari reruntuhan yang mengingatkan pada setiap jiwa yang hilang. Suara-suara ini membentuk simfoni duka yang terus bergema, hari demi hari.
Rafah menyimpan banyak kisah-kisah heroik. Di balik reruntuhan, ada mereka yang berani mengulurkan tangan memberi pertolongan. Para relawan, dokter, dan bahkan penduduk biasa yang tidak pernah lelah untuk saling menguatkan, mendoakan, menjadi simbol dari ketahanan manusia yang luar biasa. Mereka adalah pejuang tanpa senjata, melawan ketidakadilan dengan cinta dan pengorbanan.
Anak-anak yang hidup di bawah bayangan konflik menjadi korban yang paling rentan. Mereka tumbuh besar di tengah suara tembakan dan ledakan. Tumbuh di bawah bayang-bayang tembok-tembok yang hancur di tengah reruntuhan. Mimpi mereka sering kali hancur sebelum sempat tumbuh, dan masa depan mereka tampak seperti ilusi yang jauh.
Namun, di tengah segala keterbatasan, ada anak-anak yang tetap mencoba meraih mimpi mereka. Mereka bermain sepak bola di jalanan yang berdebu, menggambar di dinding-dinding yang tersisa, berlari antara reruntuhan bangunan, dan menyimpan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Anak-anak itu menjadi simbol dari kekuatan manusia yang tidak pernah padam, meskipun dihadapkan pada kesulitan yang maha kejam.
Dalam kesunyian malam yang pecah oleh suara bom dan tangis, Rafah berbicara kepada dunia. Kota ini meminta kita untuk tidak berpaling, untuk mendengarkan suara-suara yang selama ini terabaikan, dan untuk terus berjuang demi perdamaian dan keadilan.
Melalui Rafah, kita belajar bahwa di balik setiap konflik, ada manusia-manusia dengan cerita yang layak didengar. Dan dalam mendengarkan, kita menemukan kekuatan untuk terus berharap dan bertindak. Rafah adalah luka yang harus disembuhkan, dan harapan yang harus terus diperjuangkan.