Suarakampus.com– Adanya dugaan tindakan penghukuman di luar putusan pengadilan terkait dua kasus extrajudicial killing yang terjadi di Agam beberapa waktu lalu, membuat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mendesak pihak Kapolda Sumatera Barat (Sumbar) untuk mengambil alih kasus tersebut. Pasalnya, Polres Agam yang mengusut kasus itu juga sekaligus menjadi pihak terlapor.
Menyoroti kasus yang dialami oleh salah seorang warga Cumateh, Jorong V, Nagari Persiapan Sungai Jariang, Kecamatan Sungai Jariang, Kabupaten Agam, Ganti Akmal 34 tahun, pelaku yang diduga melakukan eksploitasi anak ini dipulangkan dengan kondisi penuh luka lebam, hidung dan telinga mengeluarkan darah, kepala bagian belakang melunak, pergelangan tangan patah dan beberapa luka gores di tubuh lain.
Banyaknya bukti luka fisik tersebut, keluarga korban lantas melaporkan hal ini ke Polres Agam dalam laporan polisi nomor: STTL/55.a/III/2022-Spkt Res Agam pada 10 Maret lalu.
Sehari sebelumnya, korban ditangkap sebagai tersangka oleh kepolisian Resort Agam atas tindakan eksploitasi anak, dan ditangkap di pondok sawit sebagaimana dalam surat penangkapan nomor: SP.Kap/08/III/2022/Reskrim yang telah diserahkan kepada pihak keluarga.
Selain itu, pada kasus sebelumnya Syafrial atau Poron 34 tahun, yang kasus meninggalnya menimbulkan kejanggalan bagi pihak keluarga. Pasalnya, jenazah Poron dipulangkan ke rumah keluarga penuh dengan keadaan kepala terdapat tiga jahitan, di bagian pinggang memar, di kaki terdapat luka tembakan, jari tangan luka-luka, serta terdapatnya darah yang mengalir dari telinga korban saat jenazah dimandikan.
Poron yang merupakan narapidana ini sempat melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan IIB Lubuk Basun, hingga berhasil ditangkap oleh pihak Kepolisian Resort Agam pada 9 Januari lalu.
Kasus meninggalnya Poron in juga dilaporkan oleh pihak keluarga ke Resort Agam dalam Laporan Polisi nomor: STTL/13.a/ I/2022/Spkt Res Agam yang tertanggal 15 Januari 2022.
Selaku Advokad Publik LBH Padang, Decthree Ranti Putri mengungkapkan bahwa meninggalnya Poron yang dikatakan gantung diri sesuai keterangan pihak Puskesmas ini perlu dipertanyakan kembali. “Menimbang bukti-bukti foto saat kejadian, di mana korban tergantung di pintu sel yang posisinya tidak terlalu tinggi dan jika orang berdiri dari tempat gantungan tali masih bisa menyentuh lantai,” ungkapnya Selasa (15/04).
Kemudian, kata dia, keberadaan korban saat ditemukan sedang terduduk di lantai dengan posisi tali melingkat di leher disertai dengan luka-luka di sekujur tubuh korban. “Visum yang dilakukan oleh Puskesmas hanya pemeriksaan luar saja, dan diduga dilakukan bukan ahlinya, sehingga kami meragukan sebab kematian korban,” lanjutnya.
Mengamati dua kasus tersebut, mengakibatkan extrajuditial killing ini ditangani oleh Polres Agam, yang mana terlapor terdapat di lingkaran Polres Agam akan berdampak pada ketidakjelasan keberpihakan kepolisian dalam menangani kasus ini. “Kami meragukan integritas serta independensi proses penegakkan hukum, sebab sejak awal penanganan, Kepolisian tidak kunjung melakukan autopsi korban hingga sekarang dengan alasan yang tidak berdasar,” ujar Decthree.
Lanjutnya, dugaan itu juga diperkuat oleh sikap dari pihak kepolisian yang enggan untuk mencari kebenaran atas meninggalnya korban dalam kedua kasus tersebut. “Polisi terkesan ogah-ogahan untuk mencari kebenaran materil atas kedua kasus ini,” lanjutnya.
Decthree menanggapi bahwa seharusnya hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, tidak dibenarkan kepolisian melakukan tindakan penghukuman sekecil apapun.
Padahal larangan untuk melakukan penyiksaan juga diatur oleh Undang-undang nomor 5 tahun 1998 tentang pengesahan convention against tortureand other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment (konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan ataun penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia) yang telah diratifikasi melalui Undang-undang nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan international covenant on civil and political rights.
Decthree menjelaskan bahwa meskipun Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas kepolisian negara republik Indonesia, secara tegas menempatkan hak untuk tidak disiksa sebagai bagian dari HAM yang tidak dap dikurangi oleh siapapun.
“Kondisi ini menyebabkan keluarga korban dan pendamping kehilangan kepercayaan atas proses hukum yang sedang berjalan saat ini meragukan profesionalitas, integritas, dan indepedensi proses penegakan hukum,” pungkasnya.
Maka dari itu, LBH Padang mendesak Kepolisian Daerah Sumbar untuk mengambil alih kedua kasus ini dan menjamin keadilan bagi keluarga korban. “Kasus seperti ini penting untuk ditindak tegas agar terciptanya sistem penegakan hukum yang tidak sewenang-wenang dan melanggar HAM,” tegas Decthree.
Ia juga mengatakan bahwa kasus seperti ini acap kali terjadi, sehingga pelaku bebas berkeliaran dan mengulangi hal semacam ini di kemudian hari. “Tentu hal ini berdampak hebat pada menurunnya kepercayaan rakyat pada institusi kepolisian,” tutupnya. (nsa)
Wartawan: Redaksi