Ketika Tangan Tak Lagi Berjabat

(Sumber: Isyana/suarakampus.com)

Oleh: Gema Belia

(Mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang)

“Sahabat itu, seperti air laut yang surut. Tapi, sesurut surutnya air laut, air laut tak pernah kering.” ~Belia Arumni.

“Kalau kataku, sahabat itu kayak kerayon. Punya warna berbeda yang kalau disatukan menghasilkan pelangi yang indah.” ~Mifta Hurrahmah.


“Rumah kecil itu, tempatku berteduh, senyuman pria yang kurindukan…”

“LIIIIIIIIIIAAAAAA!”

Belum siap lagu itu kunyanyikan, teriakan maut sudah terdengar. Aish, sungguh merusak mood saja.

“Bisa nggak sih kalau manggil aku itu dengan lemah lembut? Kupingku ini sakit, loh, mendengar teriakanmu.”

Mifta, sahabat yang dari kecil menemaniku, hanya tertawa. Matanya menyipit, dengan lesung pipi yang terlihat jelas.

“Maaf, Li. Aku terlalu excited. Kamu tahu nggak, aku JUARA SATU, LI! JUARA SATU!” teriaknya seraya menggenggam tanganku.

“Alhamdulillah, juara dalam hal apa?” ujarku senang.

“Lomba fotografi. Udah 20 event yang aku ikuti. Tapi baru kali ini, AKU MENANG JUARA SATU!” teriaknya sekali lagi.

Sejak kelas enam SD, Mifta sudah tertarik pada dunia fotografi. Hal ini membuatnya rela menyisihkan uang jajannya untuk membeli sebuah kamera. Setiap ada acara, dia selalu ditunjuk untuk mendokumentasikan semua kegiatan. Dia juga sering mengikuti berbagai lomba di bidang fotografi.

“Selama kamu tidak gampang menyerah, insyaAllah akan ada hadiah menarik yang Allah berikan untukmu,” kataku.

Dia tersenyum, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. “Makasih, ya. Berkat kamu yang selalu menyemangatiku, aku bisa terus melangkah dan mengambil setiap kesempatan yang ada. Terus seperti ini, ya. Terus jadi orang yang mendukung setiap langkah dalam hidupku.”

Salah satu nikmat terbesar dalam hidup adalah punya sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka, sahabat yang senantiasa menjabat tangan rapuh dikala banyak masalah yang datang, menguatkan ketika kaki tak mampu lagi berdiri tegak, dan alhamdulillah Allah memberi nikmat itu padaku, mifta hurrahmah, gadis ceria dengan sifat ambisiusnya.

“Kamu hebat, dari dulu hingga sekarang. Kamu itu, udah jago.” ucapku menyemangati

“Nanti, akan ada event lagi li, rencananya aku ingin mengambil tema alam, Bayang Sani bagus deh kayaknya.”

“Setuju. Bayang sani emang spot foto terbaik sih. selain itu, kmu juga bisa mempromosikan keindahan daerah kita ke publik.” ujarku.

Dia mengangguk, arah matanya melihat senja yang perlahan mulai menghilang, seakan menyusun ide untuk eventnya. Untuk kali ini, entah kenapa gelisah menghampiriku, seakan ingin menghalangi langkahnya untuk maju. Astaghfirullah, tuhan. Semoga ini bukan pertanda buruk.

“Li, udah magrib sholat dulu yok.” ajaknya sambil melangkah meninggalkan jejak senja.

Tak terasa hari semakin cepat berlaku, baru kemaren menikmati libur di kamar tercinta, tapi sekarang harus berkelahi dengan padatnya jadwal sekolah. Kaki mulai melangkah, meski berat hati namun, harus kupaksa demi masa depan yang cerah.

Didepan sana, mifta sudah siap dengan baju putih Abu-Abunya, tas hitam disandang dan buku dipegang.

“Widih, anak SMA. Nunggu siapa kak? Itu buku banyak banget, dibaca ga?” gurauku.

Dia tertawa, “iya nih, maklum anak rajin. Bukunya banyak, ini sebenarnya masih ada, tapi dipinjam teman.”

Kami saling pandang lalu tertawa, hingga bunyi klakson motor menghentikan gelak tawa yang berhamburan tadi. Disana suda ada erika dengan helm bogo dan motor beat putih, kuda besi yang selalu jadi andalannya dalam berpergian.

“Woii yoklah, dah telat nih,” ujarnya sambil melirik jam tangan hitam yang melekat dipergelangan tangan.

“Duluan ya anak MA, yang semangat sekolahnya.” kata Mifta kemudian melangkah menaiki motor.

Minggu berganti, sekarang aku dan Mifta tengah duduk disebuah gazebo, kami sedang berdiskusi untuk event foto yang akan di ikutinya.

“Tanggal 5 oktober nantikan kamu ada agenda tahfidz li, jadi rencananya aku mau pergi bareng Erika aja, nah nanti setelah fotonya udah jadi, kamu bantu aku bikin deskripsinya lagi yaa” ucap Mifta padaku.

Aku mengangguk. “Nanti kamu hati-hati ya kesananya, gak tau sih semenjak kamu ingin ngambil spot foto Bayang Sani, aku tiba-tiba gelisah, perasaanku gak enak ta,” ujarku khawatir.

Dia tergelak, seakan hal yang ku ucapkan sebuah lelucon. “Liaaa, kita udah sering kesana loh, aku sama Erika udah hafal jalanya, pasti aman,”

“Semoga aja, hari buruk gak ada di kelender loh, aku sebagai sahabat cuman mengingatkan.”

“Iyaa, aku bakal hati-hati. Eh, perutku mules, pulang dulu yaa” katanya lalu berlari kecil menuju rumah.

Semakin lama, perasan gelisah semakin membuncah, hingga tepat di hari Rabu 5 Oktober, Mifta dan Erika pergi ke Bayang Sani, sedangkan aku harus menyelesaikan tasmi yang akan di mulai sebentar lagi.

“Nanti gak usah buru-buru ya li, santai aja biar hafalannya gak hilang,” ujar ustadzah Linda.

Aku tersenyum dan mengangguk, sekarang fokusku bukan lagi tentang bagaimana aku di panggung nanti, tapi Mifta dan Erika. “Ya Allah, segala resah ku serahkan padamu, apapun yang terjadi jika kehendakmu maka akan terjadi, namun tolong bantu aku untuk ikhlas menerima setiap takdirmu,” Lisanku berdoa, seakan petanda buruk akan segara tiba.

Memasuki jam satu siang, namaku dipanggil, satu persatu ayat sudah kulafadzkan, hingga tiba di penguhujung juz 5, tiba-tiba detak jantungku semakin tak menentu, membuat fokusku seketika hilang, “innal-munâfiqîna fid-darkil-as…”

“asfali minan-nâr,” ucap salah satu penguji..

innal-munâfiqîna fid-darkil-asfali minan-nâr wa saufa yu’tilla…”

“Wa lan tajida”

Astaghfirullah, ucapku dalam hati.. “innal-munâfiqîna fid-darkil-asfali minan-nâr, wa lan tajida lahum nashîrâ”

“mâ yaf‘alullâhu..”

“Ayat 146, blum yang akhir.” tegur penguji yang duduk ditengah.

“illalladzîna tâbû wa ashlaḫû wa‘tashamû billâhi..”

“wa akhlashû dînahum..”

“illalladzîna tâbû wa ashlaḫû wa‘tashamû billâhi wa akhlashû dînahum lillâhi fa ulâ’ika ma‘al-mu’minîn, wa saufa yu’tillâhul-mu’minîna ajran ‘adhîmâ” ucapku terbata, hingga ayat akhir.

“mâ yaf‘alullâhu bi‘adzâbikum in syakartum wa âmantum, wa kânallâhu syâkiran ‘alîmâ, Shadaqallahul azim.”

Ucapan hamdalah terdengar bergema diseluruh ruangan, tepat disampingku, bunda dan ayah tengah tersenyum haru menatap anak bungsu mereka, namun entah kenapa gelisah tak kunjung reda, justru makin bertambah.

“Alhamdulillah, lia telah menyelesaikan hafalan 5 juznya, semoga berkah dan istiqomah” ucap ustad agustian selaku kepala yayasan di rumah tahfidz ini.

Sesi selanjutnya foto bersama, satu, dua, dan tiga foto sudah diambil, namun tiba-tiba handphone bunda bergetar.

“Innalillahi..” ucapan bunda makin membuatku risau, gegas ku hampiri dan bertanya.

“Kenapa bun?”

“Kita ke rumah sakit sekarang, Mifta jatuh dari motor, dan belum sadar dari jam satu tadi,”

Jantungku terhenti, sesak kian menderu, “ayok bun, kerumah sakit, sekarang.” ajakku.

Ruangan yang semula berisik, kini sunyi. ustad agustian menatapku, begitupun para santriwati.

Tak mau menghabiskan waktu menatapnya, gegas kami melangkah menuju mobil. “Hati-hati pak, disini kami bantu doa” kata kepala yayasan itu.

30 menit sudah kami dijalan, sepanjang jalan hanya air mata dan lantunan doa yang keluar dari lisan, begitu juga dengan bunda, orang yang sudah di anggap ibu oleh Mifta.

Kini kaki tengah berjalan ke arah ruangan, disana telah ada keluarga Mifta, disamping kiri tampak Erika yang tengah menunduk, merasa bersalah atas kejadian ini.

“Kenapa bisa?” tanyaku dengan dada yang bergemuruh.

dia mentapku, matanya sembab. “Aku nambrak anjing, tapi aku bawa motor pelan, bahkan motorku gak jatuh.” balasnya dengan nada suara parau.

“Lalu?Mifta?”

“Dia jatuh, aku gak sadar.”

“Kamu gak sadar?? Lelucon macam apa ITU, KAMU BAWA ORANG BUKAN ANGINNNN ERIKAAAA,” Emosi yang semula ku redam kini meletus, ayah bergegas memeluk meredakan letupan emosi.

“Aku gak tau, aku gak sadar, kami.. Kami hanya, nambrak anjing, motor akupun gak jatuh, jadiii aa- aku pikir Mifta juga gak jatuh” ucapnya mulai terisak.

Semua diam, bergelut dengan pikiran Masing-masing. Tiga pulu menit kami duduk, tiba-tiba ibunya mifta keluar, dia berteriak memanggil dokter.

“Dok.. Dokter, anak saya, anak saya dok,”

Satu dokter dan tiga perawat datang, mareka berlari, dengan wajah panik, entah apa yang terjadi di dalam sana.

Didudut ruang ibu Mifta semakin terisak, begitu juga semua orang yang ada di depan ruangan.

Hingga 10 menit kemudian, dokter keluar, dan mengatakan hal yang sangat menyakitkan.

“Kami sudah berusaha, namun sepertinya tuhan berkehendak lain, maaf bu, anak ibu tidak dapat diselamatkan,” Ucap dokter berkacamata itu.

Letupan yang tadinya sudah meredam, kini kembali meletus, isak tangis semakin menjadi. Gegas kuhampiri dia yang tengah berbaring, dengan berbagai selang yang melekat ditubuhnya.

“Mifta harus bangun, kamukan mau ikut event fotografi,” ujarku berbisik.

Disamping kiri, bu huri memeluk tubuh tak bernyawa itu. “Nak, bangun sayang. Ibu gak sanggup tanpa kamu,”

Ba’da isya, Mifta dibawa menuju rumah duka. Masyarakat ramai memenuhi halaman rumah buru itu, tenda mulai dipasang, Kamis 6 Oktober, tubuh itu dimakamkan.

“Ini, kameranya. Disana ada beberapa foto yang sudah diambil.” ujar gadis berkacamata itu.

Seminggu setelah jenazah mifta dikuburkan, aku memberanikan diri untuk berkunjung kerumah pohon, tempat dimana kami berteduh saat hujan turun, tempat dimana kami menghabiskan waktu di ahkir pekan. Banyak kenangan disini, puluhan foto hasil jepretan Mifta tersusun rapi di mading.

Nyata ikhlas itu tidak mudah, memori lama yang kami buat terekam jelas, bahkan suaranya yang nyaring masih sayup-sayup terdengar, Mifta pergimu membawa duka.

Tatapku beralih ke kamera, alat yang digunakan Mifta untuk mengambil setiap moment dalam hidup. Katanya, cara terbaik mensyukuri nikmat tuhan, adalah dengan mengabidakannya lewat foto.

Perlahan mulai kubuka satu persatu foto yang telah diambilnya, bagus. Sangat bagus, pantas dia mendapat juara satu. Hingga tatap mataku terpana, pada foto terakhir, air terjun Bayang Sani, angelnya pas, pun dengan hasil foto yang jelas.

Gegas ku ambil handphone, lalu membuka brosur lomba yang sempat dikirimnya, H-3 sebelum lomba ditutup, “masih ada waktu, kamu ingin ikut event inikan? tenang, untuk kali ini, aku yakin kamu akan jadi juara lagi,” ujarku seraya melirik fotonya sewaktu ulang tahun ke 12.

Semua sudah selesai, foto dan caption sudah ku unggah ke email yang tertera, sekarang tinggal menunggu hasilnya. Mifta, apapun hasilnya, kamu tetap hebat.

Burung-burung berkicau, cahaya matahari kian memenuhi ruang kamar ini, sepertinya matahari tengah berbahagia. Senyumku mengembang, menatap petani yang tengah menanam padi, mereka tampak sangat menikmati, tak ada rasa terpaksa diraut wajahnya, justru gelak tawa yang hadir ditengah kegiatan.

Dring…

Bunyi handphone mengalihkan fokusku, astaga tanggal 25 Okteber, ini pengumuman juara lomba itu, degdegan muncul, semoga apa yang ku harapkan akan terkabul, dan tepat saat jari ini membuka informasi tersebut, debaran di dada seakan membelundak, Mifta Hurrahma, nama itu itu kembali menduduki posisi teratas.

Notifikasi di handphoneku berbunyi, salah satu nomor whatsapp yang tak dikenal memberi pesan,

“Selamat kepada pemenang lomba fotografi. Piala, sertifikat, dan reward lainnya akan dikirim nanti, dengan pajak ditanggung sendiri. Untuk hadian berupa uang tunai, kami memerlukan nomor rekening sang juara, mohon segera dikirim noreknya ya!”

Tak dapat lagi senyum ini kutahan, kubalas pesan dengan perasaan senang, Mifta. Kamu pantas memperolehnya.

Dua hari setelah pengumuman itu, kembali langkah ini terayun menuju rumah abadi sang juara. Semerbak harum bunga mawar tercium saat tangan menaburkannya ke gundukan makam ini, sesak tertahan, tak mau air mata meluruh di pipi yang sudah terkena bedak bayi.

Ku usap nisan yang sudah dua minggu tak kudatangi, menyalurkan hasrat rindu yang tengah menggebu.

“Hai, aku datang. Maaf karna akhir-akhir ini aku aku tak sempat menyapa, kamu tau uas sudah berakhir, beberapa minggu lagi kelulusan. Aku senang, karna berhasil menuntaskan ujian dengan baik, dan kamu tau, dua hari yang lalu kembali rasa senang menghampiri, foto yang kamu ambil itu, kembali menduduki posisi pertama, selamat ya,” Luruh sudah air mata yang tadi kutahan.

“Pialah dan yang lain sudah tertara rapi di rak kamarmu, untuk uang, seperti katamu dulu, kuserahkan ke panti asuhan yang sempat kita datangi, semua sudah ku urus sesuai rencanamu,”

Rintik hujan jatuh, sepertinya semesta ikut merasakan lara. Ku usap air mata, dan ku cium nisan yang dari tadi ku sentuh. Tak ingin kehujanan gegas raga bangkit meninggalkan makam, kaki mengayuh sepeda menyusuri jalan yang pernah kami lewati bersama. Mifta, namamu abadi dalam hati.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Jum’at kali ketiga

Next Post

Kontroversi Open Recruitment Dema FTK, Diduga Langgar Aturan

Related Posts
Total
0
Share