Oleh: Aulia Eka Putra
(Ketua Umum HMP Hukum Tatanegara)
Kampus merupakan laboratorium peradaban yang kehadirannya untuk merancang masa depan suatu bangsa, transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter sudah menjadi tanggung jawab kampus terhadap mahasiswa. Kebebasan berpendapat dan berkreativitas merupakan hak istimewa dari seorang mahasiswa sebagai agen perubahan untuk membenahi permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Namun, belakangan ini ruang kebebasan mahasiswa tersebut perlahan dimanfaatkan oleh beberapa oknum dengan keadaan mahasiswa saat ini, mulai dari penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak sesuai, perpeloncoan yang sering dilakukan oleh senior, tidak adanya transparansi anggaran untuk mahasiswa dan pelecehan seksual terhadap mahasiswa juga terjadi di beberapa perguruan tinggi belakangan ini.
Tidak perlu melihat jauh-jauh, pada akhir tahun 2022 lalu kampus UIN IB Padang dikejutkan dengan adanya informasi pelecehan seksual oleh oknum dosen terhadap mahasiswa yang membuat mahasiswa geram dan melakukan aksi didepan rektorat, mendesak rektor segera menyelesaikan permasalahan ini dengan tegas dan membentuk satgas PPKS di UIN untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) ini. Kemudian di awal tahun 2023 kita dikejutkan lagi dengan munculnya berita telah terjadi pelecehan seksual di Universitas Andalas oleh oknum dosen lagi, kembali membuat mahasiswa geram dan mendesak agar pihak kampus dengan tegas menyelesaikan masalah ini, tapi tak lama berselang kembali terulang lagi, kali ini pelaku nya adalah oknum mahasiswa di salah satu Fakultas di Universitas Andalas, dan sekarang di tahun 2024 kembali lagi terjadi di UIN Imam Bonjol Padang, bahkan korbannya disinyalir belasan orang dari fenomena tersebut bisa kita melihat tidak adanya ketegangan rektor dalam memberantas predator seksual dikampus dan jelas tidak hadirnya satgas PPKS di kampus-kampus untuk Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) ini sesuai amanat Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Lalu, bagaimana dengan peran mahasiswa, lembaga mahasiswa, organisasi mahasiswa yang ada di perguruan tinggi tersebut? Jika kita merujuk pada Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi dijelaskan adanya keterwakilan mahasiswa dalam satgas PPKS itu artinya mahasiswa ikut berperan aktif dalam proses penyidikan dan pencarian fakta tersebut, lalu BEM atau DEMA, Senat Mahasiswa atau DLM dan HIMA atau HMP kebawahnya beserta Ormawa, Unit Kegiatan Mahasiswa dan lembaga mahasiswa lainnya harus mengawal, mencari informasi dan mengusut tuntas permasalahan ini karena selain sebagai seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi mahasiswa juga sebagai control social dalam kehidupan, sehingga hal-hal yang sudah mulai menyimpang dan jauh dari norma-norma sosial yang seharusnya terjadi ini perlu dikontrol dan diperbaiki oleh mahasiswa.
Namun jika melihat situasi kampus saat ini, satgas PPKS terkesan lalai dalam menyelesaikan ini, belum lagi informasi yang diberikan pada media yang selalu berubah-ubah dari Satgas PPKS maupun pihak kampus dan dari mahasiswa sendiri. Bukan tidak mungkin diduga ada keterlibatan mahasiswa, atau lembaga mahasiswa yang melindungi terduga pelaku hal ini bukan tanpa alasan, kita melihat sejak kasus ini terendus makin hari bukannya malah menemui titik temu tapi malah semakin banyak rahasia-rahasia bahkan antar organisasi mahasiswa sekalipun seolah-olah ada yang ditutupi dan tidak diberikan akses untuk itu, ada apa sebenarnya atau memang benar ada keterlibatan oknum mahasiswa yang diduga pelaku didalamnya. Seharusnya mahasiswa di jurusan dan fakultas masing-masing bisa mengusut ini terlebih lagi di beberapa fakultas yang diduga terindikasi, namun disaat kasus ini ditutup-tutupi oleh petinggi-petinggi terlepas lah itu dengan atas nama “menjaga nama baik kampus” yang didoktrin oleh petinggi kampus menjadi pertanyaan bagi kita semua sampai kapan ini akan selesai? Apakah kasus ini hanya untuk membranding nama pimpinan organisasi mahasiswa BEM/ DEMA atau SENAT sendiri?, apakah hanya untuk diundang media, atau hanya untuk mau di Konferensi Pers? Sedangkan pelaku masih berkeliaran, korban makin bertambah. Apakah ini harus menunggu orang terdekat dulu yang menjadi korban, adik, kakak, pacar sendiri yang jadi korban berikutnya?. Tapi entah apa yang akan dilakukan setelah ini, kita semua menunggu dan menagih tindakan nyata untuk memberantas predator seksual ini dikampus. Mahasiswa harus konsisten bukan sekedar jargon-jargon saja “mengawal” tapi benar-benar menuntut agar pelaku diberikan sanksi yang seberat-beratnya dan tidak ada toleransi untuk predator seksual ini, serta korban benar-benar dilindungi dan kembali pulih.
Fakta tersebut tentu cukup miris, kampus sebagai pusat peradaban harusnya menunjukkan perannya. Sayang, hal tersebut malah dianggap aib dan bisa merusak citra baik kampus. Hal ini yang membuat pihak kampus/perguruan tinggi bingung, bahkan terkesan abai terhadap laporan korban. Tidak sedikit laporan berakhir damai. Tidak sedikit pula laporan yang diproses hingga berbulan-bulan, tetapi tidak menemukan titik terang bagi kepentingan korban. Bahkan pelaku masih dapat hidup normal, tanpa merasakan ganjaran apa pun atas perbuatan bejatnya. Apakah tidak ada payung hukum untuk memberikan sanksi terhadap pelaku?, dan apakah tidak ada upaya untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual (PPKS) ini dikampus?. Hadirnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) seharusnya menjadi angin segar bagi para penyintas/korban dan segenap pihak yang sudah geram dengan ketidakamanan kampus sebagai tempat orang terdidik. Peraturan ini menjadi sebuah langkah maju, agar pimpinan perguruan tinggi bisa mengambil langkah tegas menyikapi setiap laporan dengan berperspektif pada perlindungan korban.
Disaat situasi seperti ini, jelas kita butuh kolaborasi multi pihak bersama, kolaborasi bersama adalah kunci keberhasilan pelaksanaan peraturan ini. Segenap pihak harus turut serta menciptakan budaya akademik yang terbebas dari kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap gender tertentu di kampus agar kampus menjadi tempat aman dari kekerasan seksual. Banyak pihak yang harus terlibat dan bahu membahu untuk memusnahkan predator seksual ini di lingkungan kampus, dan kita sebetulnya butuh bantuan itu yang jelas ada banyak lembaga-lembaga bantuan hukum seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) dan banyak lagi komunitas-komunitas serta Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) yang akan membantu mengusut tuntas dan menangani kekerasan seksual yang makin maraknya terjadi ini. Begitu pun dengan Women’s Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan yang akan terfokus agar perempuan terbebas dari kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap gender tertentu. Dengan langkah konkrit seperti itu, kekerasan seksual yang marak terjadi di kampus bisa di usut tuntas dan kedepannya bisa lebih mudah lagi melakukan pencegahan dan penanganan agar tidak ada lagi korban berikutnya berjatuhan.