Oleh: Khairunnajwa
(Mahasiswi Program Studi Hukum Keluarga Islam)
Pro dan Kontra terhadap RUU TNI 2025 telah memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat Indonesia. Beberapa pihak mendukung revisi ini karena dinilai dapat memperkuat peran TNI dalam menghadapi tantangan di Indonesia. Sementara itu, pihak lain menolak dengan alasan kekhawatiran kembalinya dwifungsi militer yang dapat mengancam supremasi sipil.
Berdasarkan data dari Kompas.com, RUU TNI telah disahkan dalam sidang paripurna pada Kamis, 20 Maret 2025. Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, didampingi oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, dan Saan Mustopa. Pada rapat tersebut, RUU TNI disahkan oleh seluruh peserta rapat.
Beberapa poin penting yang diubah dalam RUU TNI antara lain tercantum dalam Pasal 47 Ayat (1).
Dalam UU TNI lama dijelaskan bahwa TNI hanya bisa menduduki jabatan sipil setelah pengunduran diri atau pensiun dari dinas aktif sebagai prajurit. Namun, pasal tersebut diubah dengan memperbolehkan TNI aktif menjabat di 14 Kementerian/Lembaga.
Mengutip Tempo.co, terdapat dua tugas pokok baru Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yaitu:
- Membantu menanggulangi ancaman siber;
- Membantu melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Selain itu, UU TNI yang baru tetap melarang TNI berbisnis dan berpolitik praktis. Pasal 39 secara tegas melarang kedua aktivitas tersebut.
Meski Pasal 47 memperbolehkan TNI aktif menduduki jabatan di 14 kementerian/lembaga, ketentuan ini dibatasi secara jelas. Ketua DPR RI pun menegaskan hal tersebut dalam penjelasannya.
Berdasarkan informasi dari Detik.com, Pasal 47 kini memperbolehkan TNI aktif menduduki 14 posisi jabatan publik, meningkat dari sebelumnya yang hanya 10 posisi.
Berikut 14 kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh TNI aktif:
- Mahkamah Agung
- Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
- Kementerian Pertahanan (termasuk Dewan Pertahanan Nasional)
- Sekretariat Negara (urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden)
- Badan Intelijen Negara (BIN)
- Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)
- Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
- Badan SAR Nasional (Basarnas)
- Badan Narkotika Nasional (BNN)
- Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
- Badan Keamanan Laut (Bakamla)
- Kejaksaan Agung (khusus Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer)
Selain ketentuan mengenai 14 bidang jabatan sipil tersebut, TNI aktif diwajibkan mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan terlebih dahulu. Kebijakan inilah yang memicu kontroversi di kalangan masyarakat, karena kembalinya dwifungsi TNI dinilai berpotensi mengancam Hak Asasi Manusia (HAM) dan nilai-nilai demokrasi.
Pertanyaan kritis muncul seputar RUU TNI 2025:
- Bagaimana dampaknya terhadap perlindungan HAM?
- Apa konsekuensinya bagi demokrasi Indonesia?
Pemerintah dan DPR memang menegaskan bahwa RUU ini bukan bertujuan mengembalikan dwifungsi militer, melainkan untuk memperkuat profesionalisme TNI. Namun, apakah klaim ini benar-benar akan terwujud?
Kontroversi terkait perubahan UU TNI sejatinya bukan sekadar perdebatan antara pihak pro dan kontra atas satu isu tertentu. Lebih dari itu, hal ini mencerminkan ketegangan antara masyarakat sipil dan penguasa.
Jika situasi seperti ini tidak ditangani secara bijaksana berdasarkan prinsip negara hukum yang demokratis, pola serupa berpotensi terulang untuk berbagai isu di masa depan. Akibatnya, hukum bisa kehilangan fungsi utamanya sebagai penjamin kebebasan dan keadilan sosial.
Impunitas yang melekat pada anggota TNI dapat membuka peluang tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi hukum yang jelas. Akibatnya, kebebasan sipil dan demokrasi—khususnya dalam menyampaikan pendapat dan kritik—berisiko mengalami tekanan atau pembatasan. Fenomena ini juga berpotensi mengganggu dinamika kekuatan politik, sehingga keseimbangan dan akuntabilitas politik dapat terancam.
Penerapan kembali dwifungsi TNI berisiko menimbulkan beberapa dampak negatif:
- Bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengutamakan peran sipil dalam pengelolaan negara.
- Dominasi militer dalam jabatan pemerintahan yang seharusnya diisi warga sipil, mengurangi ruang partisipasi masyarakat.
- Peningkatan risiko penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM, akibat lemahnya mekanisme akuntabilitas.
Lebih jauh, tugas utama TNI sebagai garda pertahanan negara berpotensi terabaikan jika mereka terlalu terlibat dalam urusan pemerintahan. Situasi ini juga berisiko menciptakan ketergantungan pemerintah pada militer, yang dapat berkembang menjadi otoritarianisme. Kekuasaan militer yang didukung senjata akan semakin dominan dan sulit dikontrol.